Perempuan Tonggak Peradaban Digital: Dari Literasi hingga Empati

By Claudia - 8/26/2025 03:39:00 AM


 “Mendidik laki-laki akan membentuk manusia, namun mendidik perempuan akan membentuk peradaban.” Begitulah orang memberi label pada seorang perempuan, dimana mereka memiliki peran yang amat besar untuk peradaban. Apalagi di era gempuran arus informasi digital yang semakin hari semakin pesat melaju tanpa henti, peran perempuan dalam keluarga menjadi hal yang krusial di tengah derasnya revolusi digital ini, dan mengemban tugas sebagai garda terdepan literasi digital keluarga. Pentingnya memastikan anggota keluarga tumbuh menjadi manusia yang cerdas, kritis, beretika dan bijak ber-“digital” dalam penggunaan dan penyerapan informasi akan mengurangi dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Perempuan harus paham, bahwa dirinya memiliki peran yang sangat penting untuk menciptakan payung aman dalam ber-“digital”, bagi dirinya sendiri dan bagi keluarganya.

Esensi perempuan di era digital ini bukan lagi sekedar mengikuti, namun mampu untuk memimpin, berkolaborasi, dan menginspirasi. Lingkungan terdekat dan terkecil dimana perempuan mampu melakukan hal tersebut adalah rumahnya, keluarga yang menjadi sasaran utama seorang perempuan bisa berperan dalam memajukan literasi digital, dan lebih jauh lagi menjadi garda terdepan dalam berliterasi digital.

 

Mengapa Perempuan? Sebuah Perspektif Psikologis, Sosiologis, dan Spiritual

Kita hidup dimana kecemasan orang-orang bahkan juga anak-anak tidak lagi bersumber dari dunia nyata, namun juga dari dunia maya.. Tekanan dari media sosial, cyberbullying, FOMO (fear of missing out), bahkan sampai game online yang menawarkan kesenangan, namun di waktu yang sama juga dapat memberikan tekanan sosial bagi mereka yang belum bisa bijak menghadapinya, menjadi tantangan baru. Tekanan yang muncul banyak bermula dari kurangnya kesadaran terhadap pentinganya berliterasi digital dengan bijak, baik itu mengenai keamanan diri, pemilihan konten, dan penerimaan informasi digital.

Sebagaimana dikutip dari UNICEF, banyak anak dan orangtua tidak memiliki pengetahuan mengenai keamanan diri dalam ranah daring. Hanya 37,5% anak yang medapatkan informasi mengenai cara agar aman berteknologi digital. 42% anak merasa tidak nyaman dalam kegiatan daring, dan 50,3% telah terpapar konten tidak sehat.[[1]]

Lagi-lagi perempuan mendapat label khusus yang menjadi sebuah kekuatan dan tanggung jawab besar bagi perannya. Perempuan seringkali dinilai memiliki kepekaan emosi yang lebih tinggi dan mumpuni dalam kemampuan multitasking, termasuk ketika ia berhadapan dengan dunia digital. Perempuan yang mampu mengenali dan merespon kebutuhan emosional keluarga dengan baik, akan cenderung lebih siap dalam mendampingi keluarga saat menjelajahi dunia digital yang penuh stimulasi. Hal ini menjadi modal berharga dalam mengamati, merasakan, merespon dinamika interpersonal, dan mendeteksi perubahan perilaku anggota keluarga akibat paparan digital, terutama pada anak-anak yang masih rentan dalam berliterasi digital.

Literasi digital yang dimaksudkan bukan hanya mahir menggunakan gadget, atau up to date pada info terkini. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan bahwa literasi digital mencakup kemampuan untuk mengakses, memahami, membuat, mengkomunikasikan, serta mengevaluasi informasi melalui teknologi digital yang bisa diterapkan dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Sehingga, dalam hal ini, perempuan harus bisa menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi perihal bagaimana berliterasi digital dengan baik.

Di tengah maraknya kasus penyebaran hoax dan cyberbullying, peran perempuan yang cakap digital menjadi sangat strategis. Tanpa kehadiran pendamping bisa membuat anggota keluarga, terutama anak-anak menjadi korban atau parahnya, menjadi pelaku kekerasan digital tanpa mereka sadari. Perempuan perlu memahami psikologi digital, yang dapat digunakan untuk mengerti keadaan saat ini, dimana emosi anak-anak, remaja bahkan orang yang sudah lebih berumurpun masih bisa terpicu karena satu komentar netizen, bagaimana self-esteem mereka dilihat dari jumlah like dan followers, bagaimana melindungi anak-anak dari konten negatif, atau bagaimana mengarahkan penggunaan teknologi untuk belajar dan berkarya. Hal inilah yang menjadikan seorang perempuan sebagai tonggak peradaban digital, dimana mereka tidak hanya pemberi kasih sayang, tetapi juga pembentuk kepribadian. Perempuan harus memiliki kemampuan dalam menyebarkan pemahaman tentang berliterasi digital secara holistik, memastikan diri dan anggota keluarganya memiliki pemahaman dasar etika berselancar di dunia digital, keamanan data pribadi, dan berpikir kritis terhadap segala informasi yang diterima.

Perempuan yang melek digital dan open minded tentang dunia digital akan lebih peka terhadap gejala psikologis yang muncul pada anggota keluarganya akibat paparan gadget yang berlebihan: kecemasan, gangguan tidur, isolasi sosial, atau bahkan gangguan psikologis lainnya. Alih-alih melarang atau langsung menyalahkan apabila terdapat kesalahan dan permasalahan digital, perempuan yang memahami prinsip psikologi akan mengajak anggota keluarganya melakukan refleksi. Dengan bekal pengetahuan dan kepedulian yang mumpuni, perempuan bisa menerapkan parenting digital yang sehat, seperti memilih konten, mengatur screen-time, dan lebih jauh dengan menjadi pendengar yang baik saat anggota keluarga menceritakan pengalaman daringnya.

Veronika Tan, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyampaikan pentingnya melindungi anak dari kengerian dunia digital dan akses informasi yang tidak layak seperti kekerasan, pornografi, radikalisme, dll. Bukan berarti tidak memperbolehkan anak menggunakan teknologi, tetapi bagaimana memberikan arahan dan batasan terhadap penggunaan teknologi digital tersebut.[[2]]

Selain itu, agamapun juga mengajarkan tentang bagaimana orangtua bisa mendidik anaknya sesuai dengan zamannya. Maka, di zaman yang serba digital ini, perempuan sebagai seorang ibu harus bisa memberikan pendidikan tentang berakhlak baik yang bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga akhlak baik di dunia maya. Agama memiliki peran besar dalam membimbing perilaku digital. Seperti halnya yang telah disampaikan dalam Al-Quran yaitu tidak menyebar luaskan berita yang tidak pasti kebenarannya (berita hoax), menjaga kehormatan diri sendiri dan oranglain dimanapun berada, termasuk saat ber-“digital”, dan menggunakan ilmu untuk kebaikan, bukan untuk dipamerkan atau untuk menjatuhkan. Dengan begitu perempuan dapat memberikan pemahaman kepada keluarganya agar tidak menjadi penyebar kebencian atau konten sensasional hanya untuk likes dan viral. Perempuan yang menanamkan nilai-nilai tersebut di rumah tidak hanya mengajarkan etika, tetapi juga mengajarkan bahwa keimanan sebagai filter paling ampuh ketika berinteraksi di dunia maya. Perempuan adalah sekolah pertama bagi anaknya. Bagaimana cara seorang ibu mengenalkan hal-hal digital secara bijak sejak dini, maka itulah nantinya yang akan diingat oleh anak selamanya.

 

Memperkaya Peran: Strategi Praktis Perempuan Menjadi Pelindung Digital Keluarga

Kecerdasan emosi seorang perempuan, dalam hal ini ibu, tidak hanya berdampak pada anak, melainkan pada suasana rumah secara utuh. Semakin perempuan cemas dan panik terhadap paparan digital keluarga, maka kondisi rumah akan menjadi tegang pula, dan hal ini sangat tidak baik bagi terlaksananya literasi digital yang sehat. Perempuan dengan insting melindungi keluarga, dapat berperan aktif dalam memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya. Dengan tanggung jawabnya inilah, seorang perempuan perlu memperkaya dirinya dengan berbagai hal yang bisa menunjang perannya sebagai garda terdepan literasi digital keluarga.

Oleh sebab itu, hal yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk mendukung hal tersebut antara lain, menyediakan akses ke program pelatihan yang relevan dan mudah dijangkau. Mengikuti course yang disediakan beberapa platform dan tentu saja memperbanyak bacaan yang bisa menaikkan kelihaian berliterasi. Selain itu bisa juga dengan menciptakan forum serta mendorong partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan teknologi digital, dan tentu saja yang jauh lebih penting adalah menjadi role model bagi anggota keluarganya dalam penggunaan teknologi digital yang bijak, kritis, beretika, dan bertanggung jawab.

Dunia digital bukan dunia yang tak tersentuh bahaya, tetapi bukan juga untuk ditakuti. Keluarga memerlukan pelindung yang tidak hanya tegas, tetapi juga lembut dan cerdas. Perempuan dengan naluri keibuan, ketajaman emosi, dan kedekatannya dengan anggota keluarga adalah figur yang sangat strategis untuk megisi peran ini. Menjadi garda terdepan literasi digital bukan hanya sekedar tren, melainkan adalah sebuah keharusan. Dengan bekal literasi digital, pemahaman psikologi, dan nilai-nilai agama, perempuan bukan hanya mampu menyelamatkan generasi, tetapi juga membentuk generasi emas yang bukan hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki karakter, beretika, beriman, dan memiliki moralitas yang kokoh di tengah laju arus digital yang deras.


Keep Believe and Dream Big,

Claudia .


[1] UNICEF Indonesia, “Pengetahuan dan Kebiasaan Daring Anak di Indonesia: Sebuah Kajian Dasar 2023”, Unicef.org, Februari 2025, https://www.unicef.org/indonesia/id/perlindungan-anak/laporan/pengetahuan-dan-kebiasaan-daring-anak-di-indonesia-sebuah-kajian-dasar-2023 (diakses pada 4 Agustus 2025)

[2] Biro Humas dan Umum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, “Digital Ramah Anak, Bukan Sekadar Aman tapi Juga Edukatif”, kemenpppa, 25 Juli 2025, https://www.kemenpppa.go.id/siaran-pers/digital-ramah-anak-bukan-sekadar-aman-tapi-juga-edukatif (diakses 4 Agustus 2025)


  • Share:

You Might Also Like

0 comments:

Terima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎