Cahaya Cinta di Negeri Dua Benua
“Inggih, insyaAllah
jadi bu. Ibu tenang saja. Kan Hande ndak sendiri, insyaAllah berlima yang akan
pergi.” Jawabku
yang menjawab dengan selembut
mungkin, memastikan agar beliau tidak khawatir. Ibu tahu kalau anak tengahnya
ini sudah hampir tiga tahun hidup di benua orang, namun khawatirnya tetap sama
seperti tiga tahun lalu sebelum pesawat mengantarkanku mencari ilmu ke benua
biru ini.
“Sekitar tiga jam saja
bu kurang lebih. Tenang-tenang.” Kataku dengan nada
sedikit menggoda. Setelah sejam menumpahkan rindu, aku kembali fokus menyiapkan hal-hal yang akan kubawa esok.
Sungguh excited sekali aku untuk
perjalanan kali ini. Negeri dua benua. Sebelumnya aku sudah pernah ke sana,
namun kali ini aku tak sabar ingin mengunjunginya lagi karena satu alas an.
===
Untuk perjalanan kali ini tidak
terlalu lama, aku dan keempat temanku mengambil waktu empat hari saja. Kami
berangkat hari Kamis siang dari Jerman. Dan setelah perjalanan tiga jam
sampailah kami di Istanbul. Hostel di dekat kawasan Hagia Shopia dan Blue Mosque
jadi pilhan kami. Setelah masuk kamar, tiba-tiba ponselku berbunyi
“Alhamdulillah sudah
sampai bi, ini sudah di hostel.”
“Alhamdulillah kalau
begitu.” Ya, sebelum melanjutkan perjalanan hari ini, masih
sempat-sempatnya aku menggunakan sekian menitku untuk berbincang dengan Abi.
Beliau juga sangat menyukai Turki, dan hal itu menurun ke anak perempuan
satu-satunya ini.
“Yang harus selalu
Hande ingat, dalam setiap perjalanan jaga selalu imannya, agamanya, shalatnya,
insyaAllah Allah akan menjaga lebih baik daripada Abi menjagamu.”
Tiba-tiba dari seberang telepon
juga terdengar suara Ibu yang ikut
memberikan nasihat, “Dimanapun Hande
menapakkan kaki, selalu tebar kebaikan dalam setiap langkah ya.” Ahh, beginilah
mereka, selalu tersirat nasihat yang indah dari Abi dan Ibu, walau nasihat
tersebut sering sekali disampaikan, tapi aku tak pernah bosan mendengarnya.
Sembari berbaring selepas telepon
dari Abi dan Ibu, aku merenung, bahwa benar, aku niatkan kesini untuk ibadah,
belajar, serta mengingat sejarah dan mengambil hal-hal baik dari setiap
perjalananku. Ketertarikanku kepada tempat yang satu ini. Masih ingat kala
duduk di bangku SMP, aku menamatkan buku Al Fatih. Tempat dimana orang-orang
hebat semasa itu, betapa indahnya tempat itu, dam tentang betapa sedihnya akhir
dari khilafah. Berharap suatu hari bisa kesana. Dan akhirnya Allah ijinkan aku
bisa menginjakkan kakiku disana 5 tahun yang lalu.
Saat pertama kali aku datang kesini,
Hagia Shopia masih menjadi museum, melihat megahnya, dan mengingat sejarah yang
ada disana membuatku tiba-tiba berdo’a dalam hati, “Aku hanya bisa berharap, jika suatu saat nanti tempat ini kembali
menjadi masjid, aku ingin sekali sholat disini.” Dan Allah ijinkan
sekarang. Aku bisa datang kembali kesini.
Aku dan keempat temanku sudah
memiliki list perjalanan yang akan
kami lakukan selama di Istanbul. Tujuan utama kami tentu saja sholat di Hagia
Sophia dan Selat Bosphorus. Jika ditanya kenapa, aku tidak bisa banyak
mendeskripsikan tentang bagaimana perasaanku kepada kedua tempat ini.
“Han,
lapar nih. Cari makan yuk.” Kata Zahra, salah satu temanku. Setelah kami
jalan keluar, bukan mencari makanan berat malah memilih untuk ganjal perut
dengan Simit, haha. Dasar kami. Simit
adalah salah satu roti bagel khas Turki yang bisa ditemui dengan mudah
dimanapun. Simit ini berbentuk bulat dan ditaburi wijen yang lumayan banyak
hingga menutupi seluruh permukaannya. Aku suka dengan roti ini, apalagi yang
rasa Nutella. Dengan harga yang cukup murah, cukuplah untuk mengganjal perut
kami sambil mencari makanan berat.
===
Siang
ini aku dan teman-temanku memilih untuk berkunjung ke halaman Hagia Sophia dan
Blue Mosque, menikmati bunga-bunganya yang bermekaran wana-warni, dan tetiba
air mataku jatuh. Untuk pertama kalinya aku mendengar indahnya adzan yang
selama di Jerman jarang bahkan tidak sering kudengar. Ditambah lagi adzan kali
ini berbeda. adzan yang dilantunkan secara bersautan antara Hagia Sophia dan
Blue Mosque. Bukan main rasanya. Selain tentu saja terharu biru mendengar
adzan, keharuan selanjutnya saat kaki ini diijinkan oleh Allah untuk menapak di
Hagia Sophia, dan ditambah bisa bersujud dalam sholat disana. Sejak 2020
peristiwa bersejarah dimana Hagia Sophia dikembalikan fungsinya sebagai masjid,
baru hari ini aku datang kesini.
“Ramai
sekali ya Han, andaikan bisa lebih sepi lagi, pasti akan jauh lebih nikmat rasanya.”
Kata Dita.
“Iya,
ramai wisatawan. Maklumlah, kota seindah ini, pasti akan selalu ramai
wisatawan. Apalagi tempat ini adalah tempat bersejarah, wajar saja jika selalu
ramai.” Jelas Zahra yang sambil asik menikmati suasana.
“Hostel
kita kan dekat, bagaimana kalau besok kita datang lebih pagi kesini, kita
sholat Dhuha disini sekalian.” Saranku yang langsung disetujui oleh keempat
temanku. Ya benar sih, aku juga merasakan hal yang sama dengan Dita. Kawasan
ini begitu ramai. Bukan sebuah masalah besar sebenarnya, namun dengan waktuku
yang tidak lama disini, aku ingin menggunakannya sebaik mungkin. Ya salah
satunya dengan menikmati suasana di Hagia Sophia dan Blue Mosque dengan lebih
tenang.
Sesuai dengan keputusan kami
sebelumnya, kami datang ke Hagia Sophia lebih pagi, dan benar saja, lumayan
sepi. Aku, Zahra, Dita, Gazala, dan Dea bisa leluasa menikmati suasananya. Yaa,
selayaknya wisatawan lain, kami juga menyempatkan untuk mengabadikan moment
kali ini. Setelah puas berfoto ria dan tentu saja dua rakaat Dhuha kami
laksanakan, kami memutuskan untuk mencari sarapan. Lagi-lagi roti Simit nutella
jadi pilihan pengganjal perut.
Selain tujuan utama Hagia Sophia,
dan sebelum ke selat Bosphorus, kami memutuskan untuk mengunjungi Panorama 1453
Tarih Müzesi. Karena memang niatnya selat Bosphorus jadi destinasi terakhir
dari serangkaian perjalanan kali ini. Aku senang bisa berjalan-jalan di
Istanbul, karena aku bisa kemana-mana dengan transportasi umum. Yang penting
punya Istanbul Card, niscaya perjalanan akan mudah. Pembelian Istanbul Card
senilai 25tl, namun wajib memiliki saldo 75tl, sehingga 100tl sudah bisa dapat
kartu dan saldonya. Dengan kartu ini akan nyaman karena apabila naik tram, bus,
kapal dan bahkan bisa juga untuk digunakan sebagai alat pembayaran di beberapa
supermarket.
Panorama
1453 Tarih Müzesi adalah museum sejarah di Istanbul yang dibuka pada tanggal 31
Januari 2009. Museum ini menunjukkan penakhlukan kota Konstantinopel, ibu kota
Kekaisaran Bizantium. Dimana pasukan Sultan Ottoman Mehmed menjadi sang
penakhluk pada tanggal 29 Mei 1453. Untuk masuk ke Panorama 1453 Tarih Müzesi
ini membayar tiket dengan harga sekitar 50tl.
Memasuki museum itu hati mulai
dibuat berdetak tak karuan. Dimana disalah satu sudutnya terpampang dengan
jelas pengandaian peperangan di masa itu. Masa ketika detik-detik
Konstantinopel dibebaskan. Sekian menit kami berempat hanya diam, dibuat takjub
dan diminta merenung lagi tentang kisah itu. Bagaimana tak takjub, merasakan
sensasi nyata pengepungan Konstantinopel dan atmosfer peperangannya.
“Sesungguhnya
akan dibuka kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat
itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu.” Gazala
tiba-tiba lirih membacakan salah satu hadits yang Rasulullah menjadi sangat
popular dikalangan umat Islam sejak saat itu. Tak kuasa ada yang menggenang di
pelupuk mataku, cepat-cepat kuhapus karena kebetulan ada banyak orang juga
disana selain kami berempat.
“Jadi
diingatkan lagi tentang perjuangan mereka di masa lalu ya. Lalu bagaimana
dengan kontribusi kita ya?”. Ahh, bukannya tambah tenang jadi tambah berat
saja mataku karena ucapan Zahra kali ini.
“Semoga
menjadikan kita lebih baik ya. Bisa istiqomah dan tetap terus menyampaikan
kebaikan. Kita mungkin tidak berperang sebagaimana mereka berperang, namun kita
berperang dalam hal yang lain”
Setelah bermelow ria di Panorama 1453 Tarih Müzesi, kami memutuskan untuk
mencari pengganjal perut sebelum melanjutkan ke tempat lain. Ditengah
perjalanan aku masih merenung. Tempat ini bukan hanya indah dipandang mata,
namun tempat ini juga menyimpan begitu banyak hal yang indah. Di kendaraan
umumpun aku masih nyaman menikmati indahnya kota Istanbul.
===
Kami mengakhiri perjalanan kami di
Istanbul dengan menikmati indahnya selat Bosphorus. Sesaat sampai di dermaga,
banyak sekali orang yang menawarkan tiket Bosphorus Cruise. Aku dan keempat temanku memilih Full
Bosphorus Cruise dan juga Sunset Cruise, tentu saja untuk menikmati selat ini
serta menikmati sunsetnya. Perlahan kapal yang kami tumpangi berangkat.
Diiringi semilirnya angin, udara yang bersih, langit yang cerah nan biru,
menambah indahnya perjalanan kali ini.
Tersaji
keindahan pemandangan di depan mata. Berbagai landmark dan bangunan berarsitektur khas eropa, asia, bahkan mediterania
terindera dengan jelas. Aku bisa menikmati indahnya Asia dan Eropa sekaligus.
Selain Hagia Sophia, selat Bosphorus ini adalah tempat lain yang mempunyai
tempat spesial di hatiku. Tentu saja selain keindahannya, sejarah dari selat
Bosphorus ini tidak bisa dilupakan. Bosphoruslah yang memisahkan Turki bagian
Asia dan Turki bagian Eropa. Selat inilah yang sejak jaman kejayaan Yunani
sebelum era Byzantium dan Usmani menjadi Bandar rempah yang ramai, dan selat
inilah yang menjadi saksi seorang Al Fatih saat menakhlukkan Konstantinopel.
Disini
tak lupa kukeluarkan note yang selalu kubawa kemanapun aku pergi, kemanapun aku
melangkahkan kakiku di bumi Allah. Dan disini aku kembali menuliskan,
“Perjalanan yang telah aku niatkan telah diijinkan Allah, lalu bagaimana aku
tak bisa tak melibatkan Allah dalam setiap impian dan perjalananku. Allah itu
dekat, dan cahaya cinta-Nya akan tetap terang.”
Keep Believe and Dream Big,
Clau