Perempuan Tonggak Peradaban Digital: Dari Literasi hingga Empati
“Mendidik laki-laki akan membentuk manusia,
namun mendidik perempuan akan membentuk peradaban.” Begitulah orang memberi label pada
seorang perempuan, dimana mereka memiliki peran yang amat besar untuk
peradaban. Apalagi di era gempuran arus informasi digital yang semakin hari
semakin pesat melaju tanpa henti, peran perempuan dalam keluarga menjadi hal
yang krusial di tengah derasnya revolusi digital ini, dan mengemban tugas
sebagai garda terdepan literasi digital keluarga. Pentingnya memastikan anggota
keluarga tumbuh menjadi manusia yang cerdas, kritis, beretika dan bijak
ber-“digital” dalam penggunaan dan penyerapan informasi akan mengurangi dampak
negatif yang bisa ditimbulkan. Perempuan harus paham, bahwa dirinya memiliki
peran yang sangat penting untuk menciptakan payung aman dalam ber-“digital”,
bagi dirinya sendiri dan bagi keluarganya.
Esensi perempuan di era digital ini
bukan lagi sekedar mengikuti, namun mampu untuk memimpin, berkolaborasi, dan
menginspirasi. Lingkungan terdekat dan terkecil dimana perempuan mampu
melakukan hal tersebut adalah rumahnya, keluarga yang menjadi sasaran utama seorang
perempuan bisa berperan dalam memajukan literasi digital, dan lebih jauh lagi
menjadi garda terdepan dalam berliterasi digital.
Mengapa
Perempuan? Sebuah Perspektif Psikologis, Sosiologis, dan Spiritual
Kita hidup dimana kecemasan orang-orang
bahkan juga anak-anak tidak lagi bersumber dari dunia nyata, namun juga dari
dunia maya.. Tekanan dari media sosial, cyberbullying,
FOMO (fear of missing out), bahkan
sampai game online yang menawarkan
kesenangan, namun di waktu yang sama juga dapat memberikan tekanan sosial bagi
mereka yang belum bisa bijak menghadapinya, menjadi tantangan baru. Tekanan
yang muncul banyak bermula dari kurangnya kesadaran terhadap pentinganya
berliterasi digital dengan bijak, baik itu mengenai keamanan diri, pemilihan
konten, dan penerimaan informasi digital.
Sebagaimana dikutip dari UNICEF, banyak
anak dan orangtua tidak memiliki pengetahuan mengenai keamanan diri dalam ranah
daring. Hanya 37,5% anak yang medapatkan informasi mengenai cara agar aman
berteknologi digital. 42% anak merasa tidak nyaman dalam kegiatan daring, dan
50,3% telah terpapar konten tidak sehat.[[1]]
Lagi-lagi perempuan mendapat label
khusus yang menjadi sebuah kekuatan dan tanggung jawab besar bagi perannya. Perempuan
seringkali dinilai memiliki kepekaan emosi yang lebih tinggi dan mumpuni dalam
kemampuan multitasking, termasuk
ketika ia berhadapan dengan dunia digital. Perempuan yang mampu mengenali dan
merespon kebutuhan emosional keluarga dengan baik, akan cenderung lebih siap
dalam mendampingi keluarga saat menjelajahi dunia digital yang penuh stimulasi.
Hal ini menjadi modal berharga dalam mengamati, merasakan, merespon dinamika
interpersonal, dan mendeteksi perubahan perilaku anggota keluarga akibat paparan
digital, terutama pada anak-anak yang masih rentan dalam berliterasi digital.
Literasi digital yang dimaksudkan bukan
hanya mahir menggunakan gadget, atau up to date pada info terkini. Kementerian
Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan bahwa literasi digital mencakup
kemampuan untuk mengakses, memahami, membuat, mengkomunikasikan, serta
mengevaluasi informasi melalui teknologi digital yang bisa diterapkan dalam
kehidupan ekonomi dan sosial. Sehingga, dalam hal ini, perempuan harus bisa
menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi perihal bagaimana berliterasi
digital dengan baik.
Di tengah maraknya kasus penyebaran hoax dan cyberbullying, peran perempuan yang cakap digital menjadi sangat
strategis. Tanpa kehadiran pendamping bisa membuat anggota keluarga, terutama
anak-anak menjadi korban atau parahnya, menjadi pelaku kekerasan digital tanpa
mereka sadari. Perempuan perlu memahami psikologi digital, yang dapat digunakan
untuk mengerti keadaan saat ini, dimana emosi anak-anak, remaja bahkan orang
yang sudah lebih berumurpun masih bisa terpicu karena satu komentar netizen, bagaimana self-esteem mereka dilihat dari jumlah like dan followers,
bagaimana melindungi anak-anak dari konten negatif, atau bagaimana mengarahkan
penggunaan teknologi untuk belajar dan berkarya. Hal inilah yang menjadikan
seorang perempuan sebagai tonggak peradaban digital, dimana mereka tidak hanya
pemberi kasih sayang, tetapi juga pembentuk kepribadian. Perempuan harus
memiliki kemampuan dalam menyebarkan pemahaman tentang berliterasi digital
secara holistik, memastikan diri dan anggota keluarganya memiliki pemahaman
dasar etika berselancar di dunia digital, keamanan data pribadi, dan berpikir
kritis terhadap segala informasi yang diterima.
Perempuan yang melek digital dan open minded tentang dunia digital akan
lebih peka terhadap gejala psikologis yang muncul pada anggota keluarganya
akibat paparan gadget yang berlebihan:
kecemasan, gangguan tidur, isolasi sosial, atau bahkan gangguan psikologis
lainnya. Alih-alih melarang atau langsung menyalahkan apabila terdapat
kesalahan dan permasalahan digital, perempuan yang memahami prinsip psikologi
akan mengajak anggota keluarganya melakukan refleksi. Dengan bekal pengetahuan
dan kepedulian yang mumpuni, perempuan bisa menerapkan parenting digital yang sehat, seperti memilih konten, mengatur screen-time, dan lebih jauh dengan
menjadi pendengar yang baik saat anggota keluarga menceritakan pengalaman
daringnya.
Veronika Tan, Wakil Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyampaikan pentingnya
melindungi anak dari kengerian dunia digital dan akses informasi yang tidak
layak seperti kekerasan, pornografi, radikalisme, dll. Bukan berarti tidak
memperbolehkan anak menggunakan teknologi, tetapi bagaimana memberikan arahan
dan batasan terhadap penggunaan teknologi digital tersebut.[[2]]
Selain itu, agamapun juga mengajarkan
tentang bagaimana orangtua bisa mendidik anaknya sesuai dengan zamannya. Maka, di
zaman yang serba digital ini, perempuan sebagai seorang ibu harus bisa
memberikan pendidikan tentang berakhlak baik yang bukan hanya di dunia nyata,
tetapi juga akhlak baik di dunia maya. Agama memiliki peran besar dalam
membimbing perilaku digital. Seperti halnya yang telah disampaikan dalam
Al-Quran yaitu tidak menyebar luaskan berita yang tidak pasti kebenarannya
(berita hoax), menjaga kehormatan
diri sendiri dan oranglain dimanapun berada, termasuk saat ber-“digital”, dan
menggunakan ilmu untuk kebaikan, bukan untuk dipamerkan atau untuk menjatuhkan.
Dengan begitu perempuan dapat memberikan pemahaman kepada keluarganya agar
tidak menjadi penyebar kebencian atau konten sensasional hanya untuk likes dan viral. Perempuan yang
menanamkan nilai-nilai tersebut di rumah tidak hanya mengajarkan etika, tetapi
juga mengajarkan bahwa keimanan sebagai filter paling ampuh ketika berinteraksi
di dunia maya. Perempuan adalah sekolah pertama bagi anaknya. Bagaimana cara
seorang ibu mengenalkan hal-hal digital secara bijak sejak dini, maka itulah
nantinya yang akan diingat oleh anak selamanya.
Memperkaya
Peran: Strategi Praktis Perempuan Menjadi Pelindung Digital Keluarga
Kecerdasan emosi seorang perempuan,
dalam hal ini ibu, tidak hanya berdampak pada anak, melainkan pada suasana
rumah secara utuh. Semakin perempuan cemas dan panik terhadap paparan digital
keluarga, maka kondisi rumah akan menjadi tegang pula, dan hal ini sangat tidak
baik bagi terlaksananya literasi digital yang sehat. Perempuan dengan insting
melindungi keluarga, dapat berperan aktif dalam memverifikasi informasi sebelum
mempercayai atau menyebarkannya. Dengan tanggung jawabnya inilah, seorang
perempuan perlu memperkaya dirinya dengan berbagai hal yang bisa menunjang
perannya sebagai garda terdepan literasi digital keluarga.
Oleh sebab itu, hal yang dapat
dilakukan oleh perempuan untuk mendukung hal tersebut antara lain, menyediakan
akses ke program pelatihan yang relevan dan mudah dijangkau. Mengikuti course yang disediakan beberapa platform dan tentu saja memperbanyak
bacaan yang bisa menaikkan kelihaian berliterasi. Selain itu bisa juga dengan
menciptakan forum serta mendorong partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan
teknologi digital, dan tentu saja yang jauh lebih penting adalah menjadi role model bagi anggota keluarganya
dalam penggunaan teknologi digital yang bijak, kritis, beretika, dan
bertanggung jawab.
Dunia digital bukan dunia yang tak tersentuh bahaya, tetapi bukan juga untuk ditakuti. Keluarga memerlukan pelindung yang tidak hanya tegas, tetapi juga lembut dan cerdas. Perempuan dengan naluri keibuan, ketajaman emosi, dan kedekatannya dengan anggota keluarga adalah figur yang sangat strategis untuk megisi peran ini. Menjadi garda terdepan literasi digital bukan hanya sekedar tren, melainkan adalah sebuah keharusan. Dengan bekal literasi digital, pemahaman psikologi, dan nilai-nilai agama, perempuan bukan hanya mampu menyelamatkan generasi, tetapi juga membentuk generasi emas yang bukan hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki karakter, beretika, beriman, dan memiliki moralitas yang kokoh di tengah laju arus digital yang deras.
Claudia .
[1]
UNICEF Indonesia, “Pengetahuan dan Kebiasaan Daring Anak di Indonesia: Sebuah
Kajian Dasar 2023”, Unicef.org, Februari 2025, https://www.unicef.org/indonesia/id/perlindungan-anak/laporan/pengetahuan-dan-kebiasaan-daring-anak-di-indonesia-sebuah-kajian-dasar-2023
(diakses pada 4 Agustus 2025)
[2]
Biro Humas dan Umum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
“Digital Ramah Anak, Bukan Sekadar Aman tapi Juga Edukatif”, kemenpppa, 25 Juli
2025, https://www.kemenpppa.go.id/siaran-pers/digital-ramah-anak-bukan-sekadar-aman-tapi-juga-edukatif
(diakses 4 Agustus 2025)