Cinta Dibalik Kerudung

By Claudia - 1/14/2019 04:44:00 AM


Kamu sejak kapan berjilbab?”

Ya, pertanyaan seperti ini tidak jarang ditanyakan oleh beberapa teman pada saat mereka mengajak sharing mengenai jilbab. Lucu rasanya jika mengingat kembali alasan pertamaku berjilbab. 2008 adalah tahun pertama aku memberanikan diri untuk mulai berjilbab. Kamu tau alasannya apa? Alasannya adalah, karena saat itu adalah saat pertamaku masuk SMP, dan pada tahun-tahun tersebut MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang identik dengan “gojlogan” masih sangat diagungkan. Gojlogan itu adalah bahasa kami untuk menyebut sebuah hal yang dilakukan seorang kakak tingkat yang mengerjai adik kelasnya.
Saat itu seorang teman berkata, “Di, kamu itu sudah harusnya memakai jilbab. Dan kamu tahu, di SMP tu yaaa kalau siswi yang memakai jilbab pasti gak akan digojloki..” Mendengar hal itu aku memutuskan untuk bilang ke kedua orangtuaku kalau aku mau berjilbab saja. Aku tidak ingin menjadi sasaran gojlokan kakak kelas.
Satu hal yang sangat kusyukuri saat itu adalah, kedua orangtuaku mendukung dan mengiyakan dengan keputusanku tersebut. ACC dari kedua orangtua didapat, dan akhirnya aku bersekolah dengan memakai jilbab. Merasakan sesuatu yang berbeda dari enam tahun sebelumnya. Ini adalah awal, dan dari awal ini cerita mengenai aku dan jilbab dimulai.
Mungkin karena niat yang keliru, makanya keistiqomahanku saat itu diragukan. Saat itu adalah masa-masa SMP, dan kamu tau, jilbab hanya kupakai saat berada di lingkungan sekolah. Diluar sekolah, celana jeans, kaos oblong, dan rambut yang kadang terurai dan kadang kukucir ekor kuda menjadi style harian. Alasannya simple, aku belum siap sepenuhnya untuk berjilbab.
Suatu hari, ibu mengajakku bicara, “Mbak, coba sekarang kalau main bareng teman-temannya pakai jilbab. Kan disekolah sudah pakai jilbab, masak kalau bertemu teman diluar sekolah ndak pakai?.” Kata beliau dengan lembut tanpa paksaan. Beliau memberi pengertian dengan kalimat yang tak menyakitkan sedikitpun. Saat itu entah apa yang merasuki pikiranku. Aku menerima begitu saja saran dari ibu. Dan akhirnya kuberanikan diri untuk memakainya saat keluar rumah.
Masih dengan style yang sama; celana jeans, kaos oblong, dan jilbab kain tipis. Aku setia dengan style ini kurang lebih selama 3 tahun, sampai aku duduk di kelas satu SMA. Kamu pernah mendengar tentang ciput cemol? Yaa, aku pernah memakainya juga, bahkan kupakai disekolah. Jika kuingat masa itu, aku merasa malu sendiri. Jilbab kain tipis masih menjadi favorit saat itu. Dengan gaya jilbab yang simple dan gak neko-neko, kamu bisa tebak? Yaaa, hanya membutuhkan satu jarum pentul yang ditaruh dibawah dagu, kemudian menyilangkan jilbab bagian depan, dan hanya disampirkan dibahu. Khas sekali model jilbab simple tahun 2011 an.
2011, masa-masa SMA, bisa dikatakan pintu masuk perubahan. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, model berjilbabku selama kelas 1 SMA yaa seperti itu. Sampai pada akhirnya, di tahun itu juga aku mendapatkan teman-teman yang luar biasa, yang bisa mengajakku naik satu tingkat dari sebelumnya. Biar tidak bingung, akan kuperkenalkan siapa pemeran-pemerannya. Mereka adalah teman-temanku satu halaqah kajian sekolah, di sekolahku kami menyebutnya ROHIS, yaitu keRohanian Islam. Kuceritakan sedikit tentang mereka.
Perkenalanku dengan mereka indah, kurasa itu juga bukan sebuah kebetulan. Membersamai mereka disudut-sudut sekolah kala itu. Aku ingat pertemuan pertamaku bersama mereka. Waktu itu tepat sekali, dibawah pohon rindang disisi lapangan tenis sekolah. Pertama kalinya aku duduk bersama mereka, yang pada awalnya kukira sangat membosankan. Dengan malu-malu aku ikut datang dengan digandeng salah seorang teman. Tertunduk malu kala itu, karena kedatanganku tak seawal mereka yang duduk dihadapanku. Kamu tahu alasanku apa bisa ikut halaqah itu? Kuberi tahu, alasannya adalah, karena aku tidak mengikuti satupun ekstrakulikuler pilihan kala itu. Broadcast gagal di tahap kedua, majaah sekolah tidak tertarik, mading sekolah tidak juga, Debat? aahhh bukan bidangku. Dan ada beberapa lagi yang juga tidak menarik untukku. Jadi ROHIS ini adalah salah satu ekstrakulikuler yang bisa dipilih, masuknya paling mudah, karena tanpa syarat apapun. Kenapa harus ikut? Emmmm, karena untuk mengisi rapor. Sekolah mewajibkan siswanya mengikuti satu ekstrakulikuler wajib dan minimal satu ekstrakulikuler pilihan.
Baik kulanjutkan. Mereka bukan orang asing, kecuali satu orang yang begitu cantik, anggun dengan kerudung panjangnya. Tutur katanya lembut, sejurus yang bisa membuatku benar-benar hanya terfokus kepadanya. Aku yang telat mengenalnya tidak dianggap seperti orang baru, dia tetap hangat menyapa. Saat itu adalah saat dimana aku merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kurang lebih satu jam. Satu jam yang kurasa akan membosankan ternyata salah. Mengasyikkan, menyenangkan, menenangkan. Dan semua berlanjut setiap Jum’at, pulang sekolah di setiap pekannya.
Allah yang mengirimkan mereka, yang menguatkan untuk selalu istiqomah. Yang selalu menggandeng saat lagi lelah. Hingga tak terasa, tiga tahun bersama mereka adalah hal yang indah. Materi setiap pekannya selalu berbeda. Dan mbak-mbak anggun berkerudung panjang itu tadi selalu bisa membuat suasana menjadi nyaman, sehingga materi yang diberikanpun bisa kami terima dengan baik. Materinya kurasa adalah materi yang sederhana tetapi sangat penting. Mulai dari taharah (bersuci) sampai dengan menjadi sebaik-baik perhiasan. Masa remaja tak lepas dari VMJ (Virus Merah Jambu) yang juga menjadi pembahasan menarik kala itu. Jadi bagaimana seharusnya kita menjaga sebuah hati dan perasaan istimewa yang begitu indah, yang pernah Allah titipkan. Tak jarang setelah materi VMJ selesai, curhat colongan kami selalu muncul. Ow yaa, kekeluargaan diantara kami begitu terasa. Pentol depan sekolah, corah (cilok dengan saus sangat pedas) samping sekolah, dan buah-buah kala itu tak luput menjadi saksi, juga teras masjid bagian putri, gazebo sekolah, pinggir lapangan tenis, teras kelas, dan teras perpustakaan yang juga tak lupa menjadi saksi bisu perkenalan dan kebersamaanku dengan mereka.
 Jadi di halaqah  pekanan ROHIS inilah aku mendapatkan satu ilmu baru, mengenai bagaimana Allah mengatur penampilan seorang perempuan.  Langsung sesempurna seperti apa yang Allah perintahan? Jelas tidak. Kaos oblong lengan panjang masih menjadi pilihan. Hanya saja celana jeans sudah tak lagi menemani hari-hariku diluar sekolah saat bepergian. Jilbab tipis segiempatpun masih menjadi jilbab setia yang menemani, hanya saja, si jarum pentul bukan lagi menjadi satu-satunya benda tajam yang bertengger di jilbabku, dia selalu ditemani sebuah bros kecil yang bertengger di dekat bahu, jadi tak lagi menyampir-nyampirkan jilbab ke pundak, tetapi menarik satu sudut menyilang sehingga, jilbab yang kupakai bisa dikatakan menutup dada. Dan itu menjadi style baru saat aku diluar sekolah. kenapa saat keluar sekolah? karena, saat disekolah ada jilbab khusus, yang dijadikan peraturan dan ketetapan dari sekolah di tahun kedua aku bersekolah disitu.
Tiga tahun berlalu dengan semua kenangan indah yang menyertai masa-masa SMA. Ada satu pesan menarik yang selalu kuingat dari mbak-mbak anggun berjilbab lebar yang menemani masa SMAku itu, “Dek, kita sebagai manusia wajib selalu mengupgrade diri kita menjadi lebih baik. Berproses setiap harinya menjadi lebih baik, dan lebih baik. Begitu terus setiap hari. Dan ingaat, dimana kita berproses, disitulah harus ada progres. Perubahan itu seperti kita menaiki tangga. Ada diantara kita yang naik satu tangga, eh terdiam dulu, ada yang cepat sekali menaiki langsung dua anak tangga, ada juga yang istiqomah satu demi satu anak tangga. Jadi bagaimanapun itu kita tetap harus naik. Berproses untuk berprogres. Iman seseorang memang selalu naik turun, kalau keimanan yang stabil diatas terus adalah malaikat-malaikat Allah. Makanya, kita minta selalu kepada Allah untuk selalu menjaga keistiqomahan kita.” Jelas beliau waktu itu.
Detik menjadi menit, menit  menjadi jam. Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulanpun menjadi tahun. Tiga tahun sudah aku bersama mereka. Mendapat begitu banyak sekali pembelajaran berharga. Hingga saatnya aku mengganti status siswaku yang selama 12 tahun melekat didiriku, menjadi mahasiswa.
Tahun 2014 saat itu, tahun terbaper. Tahun dimana aku melepas status siswa, tahun dimana aku mendapat penolakan ditiga jalur masuk perguruan tinggi, tahun dimana Allah menjadikanku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri dengan tambahan kata Islam didalamnya, yang tertelak disalah  satu kota yang bisa dikatakan kota besar di Jawa Timur. Dan tahun dimana aku berjumpa dengan sosok perempuan tengah baya yang kupanggil ustadzah kala itu, yang juga mempunyai andil dalam perubahanku. Tahun tersebut benar-benar mempunyai rasa tersendiri. Begitu jelas Allah langsung turun tangan dalam memilihkan tempatku menuntut ilmu. Ditempatkan ditempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, dengan kegiatan-kegiatan dan banyak hal baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tinggal di asrama, kami menyebutnya ma'had. Masih jelas terekam diingatanku, tiga malam pertama aku berada disana, aku sama sekali tidak bisa tidur. Dan beberapa cerita lainnya yang sungguh baru. Mungkin akan kuceritakan dilain waktu.
Masa awal kuliah menjadi masa yang sangat-sangat baru dan berbeda dari kehidupan tiga tahunku di SMA. Diawal kuliah, aku mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang bergerak di permusikan. Punya band, manggung ecek-ecekan sana-sini, menjadi panitia dalam pergelaran panggung musik kampus dan bahkan meluncurkan satu single dan masuk kedalam album kompilasi UKM. Kajian? Gak pernah ikut, lupa gimana rasanya, dan nyaman dengan band-band an. Bahkan sempat teman sekamar bilang, intinya kok jadi gak punya aturan, "hati-hati mbak, nanti keluar ma'had malah gak karuan.". Sakit hati? iya. Karena mereka menilai dari apa yang mereka lihat saja. Bagaimana kenyataan didalamnya merekapun juga tidak tahu. Setiap kali balik ke kamar pasti mepet jam 9, dan sampai kamar sering sekali mendapat perlakuan seperti itu. Yaaa, tidak semua, hanya beberapa saja dari 8 orang yang tinggal sekamar. Dan dari itu juga aku lebih betah dengan teman-teman se-UKM ku daripada dikamar.
Sudah jadi mahasiswa nih, anak band juga, style berpakaian bagaimana? Masih tak jauh beda dari sebelumnya, hanya saja lebih sering pakai kemeja daripada kaos. Rok, kemeja yang dimasukkan agar terlihat rapi, dan masih tetap setia dengan jilbab segiempat yang bisa dikatakan tipis, yang kadang ditarik ke samping dan dibubuhi bros, kadang disimpul diujung jilbab, dan kadang dibiarkan menjuntai begitu saja, tergantung waktu dan suasana, yang jelas tidak diangkat-angkat lagi dan tetap masih menutup dada. Bertahan dengan style seperti itu selama kurang lebih satu tahun, bahkan selama aku berkutat didunia musik, begituah styleku.
Mahasiswa baru, diwajibkan untuk mengikuti kelas intensif bahasa arab. Dan bersyukur sekali, aku bisa mengenal baik ustadzah bahasa arabku. Aku menceritakan banyak hal kebeliau, mulai dari beberapa masalah pribadi, permasalahan tentang perkuliahan, sampai diskusi-diskusi mengenai ilmu agama. Pernah sekali waktu beliau juga menyinggung masalah keikutsertaanku di dunia musik, dan memberi tahuku tentang kewajiban-kewajiban menjadi seorang Muslimah. “Perempuan itu ada dua mbak. Kita bisa memilih mau menjadi yang mana. Yang pertama adalah menjadi sebaik-baik perhiasan, dan yang kedua menjadi seburuk-buruknya fitnah.” Yaa, awalnya memang tidak nyaman dengan beliau yang menyinggung masalah kegiatanku, namun entah ada apa, lama-kelamaan aku nyaman dengan beliau. Dan akhirnya, aku banyak mencuri ilmu-ilmu agama dari beliau, meneruskan halaqahku yang sempat terjeda saat aku masuk kuliah. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu, aku merasa lebih nyaman dengan kegiatannya yang baru, yaitu halaqah bersama beliau, dan sedikit demi sedikit menjauh dari dunia musik yang selama ini juga membawa banyak perubahan baik dalam diriku, salah satunya adalah membuatku lebih bisa percaya diri.
Aku ingat betul, suatu hari aku pergi bersama ibuku dan aku melihat seorang perempuan yang anggun dengan gamisnya yang cantik dan kerudung lebarnya. Dan akupun menyeletuk, “cantik ya mbak-mbak itu. Mah, aku kok pengen makai gamis ya.”. Tanpa diduga dan dinyana, ibuku yang bisa menjahit baju membuatkanku sebuah gamis cantik yang mengkolaborasikan dua kain, kain polos dan kain bunga-bunga. Dan tentang jilbab, entah kenapa aku sedikit mulai tidak nyaman dengan jilbab segiempat tipis yang sudah setia selama kurang lebih lima tahun menemani. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk menumpuk jilbab tipis itu saat kugunakan. Jadi aku bisa menggunakannya lebih lebar dan tidak menerawang.
Saat itu ada seorang teman yang menanyai, “kenapa sekarang kerudungnya jadi agak lebih panjang?” jawabanku sederhana, tanpa dalil satu ayatpun. “Aku nyaman. Jadi mau tolah-toleh (tengak-tengok) kesana-kemari tetap aman, dan jilbab tidak tersingkap.” Hari berganti hari. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merubah penampilanku. Gamis, khimar segiempat bahan wolfis yang menjadi andalan kala itu, ke kampus, hangout, ke kajian, dan kemana saja. Kupikir akan mudah dan mulus jalan didepan yang harus kulalui setelah keputusanku untuk berhijrah. Tapi nyatanya salah, banyak sekali hal yang berubah, mulai dari kalimat-kalimat yang tidak enak didengar kala itu, “mau kuliah atau mau pengajian buuk.”, “eh ustadzah, mau ngisi pengajian dimana?”, “eh, jilbabmu kok lebar, bajumu juga, kayak ibu-ibu.” Dan kalimat-kalimat serupa, hingga pada sindiran halus dari keluargaku, terutama dari adikku. Untuk omongan teman alhamdulillah Allah beri kemudahan untuk menyelesaikannya. Tapi untuk keluarga, tidak semudah itu, khususnya untuk adik dan ayahku.
Seperti anak muda seusianya, jilbab lebar tidak biasa untuknya. “jilbabmu loo jangan lebar-lebar, jelek, gak pantes.” Dan pertanyaan dari ayah “tak lihat-lihat kok jilbabmu sekarang lebar-lebar ya?”. Saat itu aku bingung mau menjawabnya seperti apa, aku bingung memberi pengertian seperti apa. Akhirnya, Allah memberikan satu jawaban. Ayah adalah seseorang yang senang melihat putrinya tampak cantik dan anggun. Dan sedikit bernegosiasi, Allah mudahkan lisan ini untuk meyakinkan ke ayah, jikalau teman-teman putrinya begitu menerima dan menyukai penampilannya. Sehingga darisitulah ayah bisa menerimanya. Adik? Masih kuusahakan untuk memahamkannya.
Berbicara masalah kajian, yaa. Subhanallah, percayalah pada sebuah do’a. Aku ingat sekali, saat itu aku minta kepada Allah agar didekatkan dengan orang-orang yang bisa mengingatkanku selalu pada-Nya. Dan Allah mengabulkannya. Dia ijinkan aku mengenal teman-teman se-kajian yang selalu mengingatkanku pada Allah, selalu tak pernah lupa mengingatkanku tentang adanya kajian mingguan, dan selalu mengajakku setiap kali ada kajian menarik lainnya.
Dan kini, inilah aku. Perempuan berkacamata, dengan gamis, kerudung wolfis lebar segiempat atau kadang khimar instan, tas ransel, dan sepatu atau sepatu sandal khas perempuan. Semua berawal bukan dari paksaan, tetapi dari hal-hal dan alasan-alasan aneh dan gak masuk akal. Allah berikan kenyamanan, dan Allah kirimkan teman-teman, dan sahabat-sahabat yang bisa saling menguatkan, mengingatkan untuk tetap selalu istiqomah, serta tetap terus mencari ilmu-ilmunya Allah tanpa putus asa. Semua hal yang telah terlalui, jika kamu menanyakannya itu semua karena apa, aku benar-benar tidak bisa menemukan jawaban yang logis. Yang bisa kukatakan, aku nyaman.  Masih banyak kekurangan? Jelas. Karena penampilan bukan tolak ukur kan, itu menurutku. 
Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan cerita yang berbeda-beda, dan dengan cara yang berbeda-beda. Bisa jadi dari teman disekitarmu, maka Rasulullah juga menyampaikan, “Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa adi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Saudariku, maka dari sinilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberi ajaran kepada kita untuk senantiasa memilih teman-teman yang shalih dan waspada dari teman-teman yang buruk. Ingat sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Opik, salah satu liriknya adalah “berkumpullah dengan orang-orang shalih.”, mengapa? Karena teman yang shalih,insyaAllah akan senantiasa untuk mendorong kita agar lebih dekat kepada Allah, mereka akan selalu mengajak kita untuk berakhlak mulia. Sesungguhnya, seseorang akan mengikuti sahabatnya, baik dalam hal tabiat dan perilaku. Seperti sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendakah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dan Allah mencintai orang yang mencintai sesamanya karena Allah.
Satu hal terakhir. Aku bukanlah orang yang sempurna. Tetapi, aku bersyukur kepada Allah dengan segala nikmat dan kesempatan yang telah Dia berikan hingga detik ini. Semoga Allah senantiasa memberikan ridho atas apa yang kita kerjakan. Allah yang telah Menghidupkanku dalam keadaan Iman dan Islam, dan aku berharap serta memohon kepada-Nya, semoga Allah juga mematikanku dalam keadaan Iman dan Islam, mengambilku disaat aku dalam keadaan mencinta-Mu sedalam-dalamnya. Dan membangkitkanku dalam keadaan Iman dan Islam. Yang berdiri dibarisan Rasulullah. Dan kuharap engkau pun begitu.
Saudariku, jangan pernah kita ragukan nikmat yang Allah beri. Senatiasa bersyukur, dan selalu berusaha menjadi seorang Muslimah yang baik. Menjadi perhiasan-perhiasan terbaik.  Semoga Allah meridhoinya. Saudariku, aku mencintaimu karena Allah.


  • Share:

You Might Also Like

1 comments:

Terima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎