“Kamu sejak kapan berjilbab?”
Ya,
pertanyaan seperti ini tidak jarang ditanyakan oleh beberapa teman pada saat
mereka mengajak sharing mengenai
jilbab. Lucu rasanya jika mengingat kembali alasan pertamaku berjilbab. 2008
adalah tahun pertama aku memberanikan diri untuk mulai berjilbab. Kamu tau
alasannya apa? Alasannya adalah, karena saat itu adalah saat pertamaku masuk
SMP, dan pada tahun-tahun tersebut MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang identik dengan “gojlogan” masih sangat diagungkan. Gojlogan itu adalah bahasa kami untuk
menyebut sebuah hal yang dilakukan seorang kakak tingkat yang mengerjai adik
kelasnya.
Saat
itu seorang teman berkata, “Di, kamu itu sudah harusnya memakai jilbab. Dan
kamu tahu, di SMP tu yaaa kalau siswi yang memakai jilbab pasti gak akan digojloki..” Mendengar hal itu aku
memutuskan untuk bilang ke kedua orangtuaku kalau aku mau berjilbab saja. Aku
tidak ingin menjadi sasaran gojlokan kakak
kelas.
Satu
hal yang sangat kusyukuri saat itu adalah, kedua orangtuaku mendukung dan
mengiyakan dengan keputusanku tersebut. ACC dari kedua orangtua didapat, dan
akhirnya aku bersekolah dengan memakai jilbab. Merasakan sesuatu yang berbeda
dari enam tahun sebelumnya. Ini adalah awal, dan dari awal ini cerita mengenai
aku dan jilbab dimulai.
Mungkin
karena niat yang keliru, makanya keistiqomahanku saat itu diragukan. Saat itu
adalah masa-masa SMP, dan kamu tau, jilbab hanya kupakai saat berada di
lingkungan sekolah. Diluar sekolah, celana jeans,
kaos oblong, dan rambut yang kadang terurai dan kadang kukucir ekor kuda
menjadi style harian. Alasannya
simple, aku belum siap sepenuhnya untuk berjilbab.
Suatu
hari, ibu mengajakku bicara, “Mbak, coba sekarang kalau main bareng
teman-temannya pakai jilbab. Kan disekolah sudah pakai jilbab, masak kalau bertemu teman diluar sekolah
ndak pakai?.” Kata beliau dengan
lembut tanpa paksaan. Beliau memberi pengertian dengan kalimat yang tak
menyakitkan sedikitpun. Saat itu entah apa yang merasuki pikiranku. Aku
menerima begitu saja saran dari ibu. Dan akhirnya kuberanikan diri untuk
memakainya saat keluar rumah.
Masih
dengan style yang sama; celana jeans, kaos oblong, dan jilbab kain
tipis. Aku setia dengan style ini
kurang lebih selama 3 tahun, sampai aku duduk di kelas satu SMA. Kamu pernah
mendengar tentang ciput cemol? Yaa, aku pernah memakainya juga, bahkan kupakai
disekolah. Jika kuingat masa itu, aku merasa malu sendiri. Jilbab kain tipis
masih menjadi favorit saat itu. Dengan gaya jilbab yang simple dan gak neko-neko,
kamu bisa tebak? Yaaa, hanya membutuhkan satu jarum pentul yang ditaruh dibawah
dagu, kemudian menyilangkan jilbab bagian depan, dan hanya disampirkan dibahu. Khas sekali model
jilbab simple tahun 2011 an.
2011,
masa-masa SMA, bisa dikatakan pintu masuk perubahan. Seperti yang kuceritakan
sebelumnya, model berjilbabku selama kelas 1 SMA yaa seperti itu. Sampai pada
akhirnya, di tahun itu juga aku mendapatkan teman-teman yang luar biasa, yang
bisa mengajakku naik satu tingkat dari sebelumnya. Biar tidak bingung, akan
kuperkenalkan siapa pemeran-pemerannya. Mereka adalah teman-temanku satu halaqah kajian sekolah, di sekolahku
kami menyebutnya ROHIS, yaitu keRohanian Islam. Kuceritakan sedikit tentang
mereka.
Perkenalanku
dengan mereka indah, kurasa itu juga bukan sebuah kebetulan. Membersamai mereka
disudut-sudut sekolah kala itu. Aku ingat pertemuan pertamaku bersama mereka.
Waktu itu tepat sekali, dibawah pohon rindang disisi lapangan tenis sekolah.
Pertama kalinya aku duduk bersama mereka, yang pada awalnya kukira sangat
membosankan. Dengan malu-malu aku ikut datang dengan digandeng salah seorang
teman. Tertunduk malu kala itu, karena kedatanganku tak seawal mereka yang
duduk dihadapanku. Kamu tahu alasanku apa
bisa ikut halaqah itu? Kuberi tahu, alasannya adalah, karena aku tidak
mengikuti satupun ekstrakulikuler pilihan kala itu. Broadcast gagal di tahap kedua, majaah sekolah tidak tertarik, mading sekolah tidak juga, Debat? aahhh bukan bidangku. Dan ada beberapa lagi yang juga tidak menarik untukku. Jadi ROHIS ini adalah salah
satu ekstrakulikuler yang bisa dipilih, masuknya paling mudah, karena tanpa
syarat apapun. Kenapa harus ikut? Emmmm,
karena untuk mengisi rapor. Sekolah mewajibkan siswanya mengikuti satu
ekstrakulikuler wajib dan minimal satu ekstrakulikuler pilihan.
Baik
kulanjutkan. Mereka bukan orang asing, kecuali satu orang yang begitu cantik,
anggun dengan kerudung panjangnya. Tutur katanya lembut, sejurus yang bisa
membuatku benar-benar hanya terfokus kepadanya. Aku yang telat mengenalnya
tidak dianggap seperti orang baru, dia tetap hangat menyapa. Saat itu adalah
saat dimana aku merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum pernah
kurasakan sebelumnya. Kurang lebih satu jam. Satu jam yang kurasa akan
membosankan ternyata salah. Mengasyikkan, menyenangkan, menenangkan. Dan semua
berlanjut setiap Jum’at, pulang sekolah di setiap pekannya.
Allah
yang mengirimkan mereka, yang menguatkan untuk selalu istiqomah. Yang selalu
menggandeng saat lagi lelah. Hingga tak terasa, tiga tahun bersama mereka
adalah hal yang indah. Materi setiap pekannya selalu berbeda. Dan mbak-mbak
anggun berkerudung panjang itu tadi selalu bisa membuat suasana menjadi nyaman,
sehingga materi yang diberikanpun bisa kami terima dengan baik. Materinya
kurasa adalah materi yang sederhana tetapi sangat penting. Mulai dari taharah (bersuci) sampai dengan menjadi
sebaik-baik perhiasan. Masa remaja tak lepas dari VMJ (Virus Merah Jambu) yang
juga menjadi pembahasan menarik kala itu. Jadi bagaimana seharusnya kita
menjaga sebuah hati dan perasaan istimewa yang begitu indah, yang pernah Allah
titipkan. Tak jarang setelah materi VMJ selesai, curhat colongan kami selalu
muncul. Ow yaa, kekeluargaan diantara
kami begitu terasa. Pentol depan sekolah, corah
(cilok dengan saus sangat pedas) samping sekolah, dan buah-buah kala itu
tak luput menjadi saksi, juga teras masjid bagian putri, gazebo sekolah,
pinggir lapangan tenis, teras kelas, dan teras perpustakaan yang juga tak lupa
menjadi saksi bisu perkenalan dan kebersamaanku dengan mereka.
Jadi di halaqah
pekanan ROHIS inilah aku mendapatkan
satu ilmu baru, mengenai bagaimana Allah mengatur penampilan seorang perempuan.
Langsung
sesempurna seperti apa yang Allah perintahan? Jelas tidak. Kaos oblong
lengan panjang masih menjadi pilihan. Hanya saja celana jeans sudah tak lagi menemani hari-hariku diluar sekolah saat
bepergian. Jilbab tipis segiempatpun masih menjadi jilbab setia yang menemani,
hanya saja, si jarum pentul bukan lagi menjadi satu-satunya benda tajam yang
bertengger di jilbabku, dia selalu ditemani sebuah bros kecil yang bertengger
di dekat bahu, jadi tak lagi menyampir-nyampirkan jilbab ke pundak, tetapi
menarik satu sudut menyilang sehingga, jilbab yang kupakai bisa dikatakan
menutup dada. Dan itu menjadi style baru
saat aku diluar sekolah. kenapa saat keluar sekolah? karena, saat disekolah ada jilbab khusus, yang dijadikan peraturan dan ketetapan dari sekolah di tahun kedua aku bersekolah disitu.
Tiga
tahun berlalu dengan semua kenangan indah yang menyertai masa-masa SMA. Ada
satu pesan menarik yang selalu kuingat dari mbak-mbak anggun berjilbab lebar
yang menemani masa SMAku itu, “Dek, kita
sebagai manusia wajib selalu mengupgrade diri kita menjadi lebih baik.
Berproses setiap harinya menjadi lebih baik, dan lebih baik. Begitu terus
setiap hari. Dan ingaat, dimana kita berproses, disitulah harus ada progres.
Perubahan itu seperti kita menaiki tangga. Ada diantara kita yang naik satu
tangga, eh terdiam dulu, ada yang cepat sekali menaiki langsung dua anak
tangga, ada juga yang istiqomah satu demi satu anak tangga. Jadi bagaimanapun
itu kita tetap harus naik. Berproses untuk berprogres. Iman seseorang memang
selalu naik turun, kalau keimanan yang stabil diatas terus adalah
malaikat-malaikat Allah. Makanya, kita minta selalu kepada Allah untuk selalu
menjaga keistiqomahan kita.” Jelas beliau waktu itu.
Detik
menjadi menit, menit menjadi jam. Hari
menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulanpun menjadi tahun. Tiga tahun
sudah aku bersama mereka. Mendapat begitu banyak sekali pembelajaran berharga.
Hingga saatnya aku mengganti status siswaku yang selama 12 tahun melekat
didiriku, menjadi mahasiswa.
Tahun
2014 saat itu, tahun terbaper. Tahun dimana aku melepas status siswa, tahun
dimana aku mendapat penolakan ditiga jalur masuk perguruan tinggi, tahun dimana
Allah menjadikanku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri dengan
tambahan kata Islam didalamnya, yang tertelak disalah satu kota yang bisa dikatakan kota besar di
Jawa Timur. Dan tahun dimana aku berjumpa dengan sosok perempuan tengah baya
yang kupanggil ustadzah kala itu, yang juga mempunyai andil dalam perubahanku. Tahun tersebut benar-benar mempunyai rasa tersendiri. Begitu jelas Allah langsung turun tangan dalam memilihkan tempatku menuntut ilmu. Ditempatkan ditempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, dengan kegiatan-kegiatan dan banyak hal baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tinggal di asrama, kami menyebutnya ma'had. Masih jelas terekam diingatanku, tiga malam pertama aku berada disana, aku sama sekali tidak bisa tidur. Dan beberapa cerita lainnya yang sungguh baru. Mungkin akan kuceritakan dilain waktu.
Masa
awal kuliah menjadi masa yang sangat-sangat baru dan berbeda dari kehidupan
tiga tahunku di SMA. Diawal kuliah, aku mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM)
yang bergerak di permusikan. Punya band, manggung ecek-ecekan sana-sini,
menjadi panitia dalam pergelaran panggung musik kampus dan bahkan meluncurkan
satu single dan masuk kedalam album
kompilasi UKM. Kajian? Gak pernah ikut, lupa gimana rasanya, dan nyaman dengan band-band an. Bahkan sempat teman sekamar bilang, intinya kok jadi gak punya aturan, "hati-hati mbak, nanti keluar ma'had malah gak karuan.". Sakit hati? iya. Karena mereka menilai dari apa yang mereka lihat saja. Bagaimana kenyataan didalamnya merekapun juga tidak tahu. Setiap kali balik ke kamar pasti mepet jam 9, dan sampai kamar sering sekali mendapat perlakuan seperti itu. Yaaa, tidak semua, hanya beberapa saja dari 8 orang yang tinggal sekamar. Dan dari itu juga aku lebih betah dengan teman-teman se-UKM ku daripada dikamar.
Sudah jadi mahasiswa nih, anak band
juga, style berpakaian bagaimana? Masih tak jauh beda dari
sebelumnya, hanya saja lebih sering pakai kemeja daripada kaos. Rok, kemeja
yang dimasukkan agar terlihat rapi, dan masih tetap setia dengan jilbab
segiempat yang bisa dikatakan tipis, yang kadang ditarik ke samping dan
dibubuhi bros, kadang disimpul diujung jilbab, dan kadang dibiarkan menjuntai
begitu saja, tergantung waktu dan suasana, yang jelas tidak diangkat-angkat
lagi dan tetap masih menutup dada. Bertahan dengan style seperti itu selama kurang lebih satu tahun, bahkan selama aku
berkutat didunia musik, begituah styleku.
Mahasiswa
baru, diwajibkan untuk mengikuti kelas intensif bahasa arab. Dan bersyukur
sekali, aku bisa mengenal baik ustadzah bahasa arabku. Aku menceritakan banyak
hal kebeliau, mulai dari beberapa masalah pribadi, permasalahan tentang
perkuliahan, sampai diskusi-diskusi mengenai ilmu agama. Pernah sekali waktu
beliau juga menyinggung masalah keikutsertaanku di dunia musik, dan memberi tahuku
tentang kewajiban-kewajiban menjadi seorang Muslimah. “Perempuan itu ada dua mbak. Kita bisa memilih mau menjadi yang mana.
Yang pertama adalah menjadi sebaik-baik perhiasan, dan yang kedua menjadi
seburuk-buruknya fitnah.” Yaa, awalnya memang tidak nyaman dengan beliau yang menyinggung masalah kegiatanku, namun entah ada apa, lama-kelamaan aku nyaman dengan beliau. Dan akhirnya, aku
banyak mencuri ilmu-ilmu agama dari beliau, meneruskan halaqahku yang sempat
terjeda saat aku masuk kuliah. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu, aku
merasa lebih nyaman dengan kegiatannya yang baru, yaitu halaqah bersama beliau,
dan sedikit demi sedikit menjauh dari dunia musik yang selama ini juga membawa
banyak perubahan baik dalam diriku, salah satunya adalah membuatku lebih bisa
percaya diri.
Aku
ingat betul, suatu hari aku pergi bersama ibuku dan aku melihat seorang
perempuan yang anggun dengan gamisnya yang cantik dan kerudung lebarnya. Dan akupun
menyeletuk, “cantik ya mbak-mbak itu.
Mah, aku kok pengen makai gamis ya.”. Tanpa diduga dan dinyana, ibuku yang
bisa menjahit baju membuatkanku sebuah gamis cantik yang mengkolaborasikan dua
kain, kain polos dan kain bunga-bunga. Dan tentang jilbab, entah kenapa aku
sedikit mulai tidak nyaman dengan jilbab segiempat tipis yang sudah setia
selama kurang lebih lima tahun menemani. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk
menumpuk jilbab tipis itu saat kugunakan. Jadi aku bisa menggunakannya lebih
lebar dan tidak menerawang.
Saat
itu ada seorang teman yang menanyai, “kenapa sekarang kerudungnya jadi agak
lebih panjang?” jawabanku sederhana, tanpa dalil satu ayatpun. “Aku nyaman.
Jadi mau tolah-toleh (tengak-tengok)
kesana-kemari tetap aman, dan jilbab tidak tersingkap.” Hari berganti hari.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk merubah penampilanku. Gamis, khimar segiempat
bahan wolfis yang menjadi andalan kala itu, ke kampus, hangout, ke kajian, dan kemana saja. Kupikir akan mudah dan mulus
jalan didepan yang harus kulalui setelah keputusanku untuk berhijrah. Tapi
nyatanya salah, banyak sekali hal yang berubah, mulai dari kalimat-kalimat yang
tidak enak didengar kala itu, “mau kuliah
atau mau pengajian buuk.”, “eh ustadzah, mau ngisi pengajian dimana?”, “eh,
jilbabmu kok lebar, bajumu juga, kayak ibu-ibu.” Dan kalimat-kalimat
serupa, hingga pada sindiran halus dari keluargaku, terutama dari adikku. Untuk
omongan teman alhamdulillah Allah beri kemudahan untuk menyelesaikannya. Tapi
untuk keluarga, tidak semudah itu, khususnya untuk adik dan ayahku.
Seperti
anak muda seusianya, jilbab lebar tidak biasa untuknya. “jilbabmu loo jangan lebar-lebar, jelek, gak pantes.” Dan pertanyaan
dari ayah “tak lihat-lihat kok jilbabmu
sekarang lebar-lebar ya?”. Saat itu aku bingung mau menjawabnya seperti
apa, aku bingung memberi pengertian seperti apa. Akhirnya, Allah memberikan
satu jawaban. Ayah adalah seseorang yang senang melihat putrinya tampak cantik
dan anggun. Dan sedikit bernegosiasi, Allah mudahkan lisan ini untuk meyakinkan
ke ayah, jikalau teman-teman putrinya begitu menerima dan menyukai
penampilannya. Sehingga darisitulah ayah bisa menerimanya. Adik? Masih kuusahakan untuk memahamkannya.
Berbicara
masalah kajian, yaa. Subhanallah, percayalah pada sebuah do’a. Aku ingat
sekali, saat itu aku minta kepada Allah agar didekatkan dengan orang-orang yang
bisa mengingatkanku selalu pada-Nya. Dan Allah mengabulkannya. Dia ijinkan aku
mengenal teman-teman se-kajian yang selalu mengingatkanku pada Allah, selalu
tak pernah lupa mengingatkanku tentang adanya kajian mingguan, dan selalu
mengajakku setiap kali ada kajian menarik lainnya.
Dan
kini, inilah aku. Perempuan berkacamata, dengan gamis, kerudung wolfis lebar
segiempat atau kadang khimar instan, tas ransel, dan sepatu atau sepatu sandal
khas perempuan. Semua berawal bukan dari paksaan, tetapi dari hal-hal dan
alasan-alasan aneh dan gak masuk akal. Allah berikan kenyamanan, dan Allah
kirimkan teman-teman, dan sahabat-sahabat yang bisa saling menguatkan,
mengingatkan untuk tetap selalu istiqomah, serta tetap terus mencari
ilmu-ilmunya Allah tanpa putus asa. Semua hal yang telah terlalui, jika kamu menanyakannya itu semua karena apa, aku benar-benar tidak bisa menemukan jawaban yang logis. Yang bisa kukatakan, aku nyaman. Masih banyak kekurangan? Jelas. Karena penampilan bukan tolak ukur kan, itu menurutku.
Allah
memberikan hidayah kepada seseorang dengan cerita yang berbeda-beda, dan dengan
cara yang berbeda-beda. Bisa jadi dari teman disekitarmu, maka Rasulullah juga
menyampaikan, “Permisalan teman duduk
yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai
besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi,
atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya.
Adapun tukang pandai besi, bisa adi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau
kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Saudariku, maka dari sinilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberi
ajaran kepada kita untuk senantiasa memilih teman-teman yang shalih dan waspada
dari teman-teman yang buruk. Ingat sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Opik, salah
satu liriknya adalah “berkumpullah dengan orang-orang shalih.”, mengapa? Karena
teman yang shalih,insyaAllah akan senantiasa untuk mendorong kita agar lebih
dekat kepada Allah, mereka akan selalu mengajak kita untuk berakhlak mulia.
Sesungguhnya, seseorang akan mengikuti sahabatnya, baik dalam hal tabiat dan
perilaku. Seperti sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “seseorang itu menurut agama teman dekatnya,
maka hendakah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi). Dan Allah mencintai orang yang mencintai sesamanya
karena Allah.
Satu
hal terakhir. Aku bukanlah orang yang sempurna. Tetapi, aku bersyukur kepada
Allah dengan segala nikmat dan kesempatan yang telah Dia berikan hingga detik
ini. Semoga Allah senantiasa memberikan ridho atas apa yang kita kerjakan.
Allah yang telah Menghidupkanku dalam keadaan Iman dan Islam, dan aku berharap
serta memohon kepada-Nya, semoga Allah juga mematikanku dalam keadaan Iman dan
Islam, mengambilku disaat aku dalam keadaan mencinta-Mu sedalam-dalamnya. Dan
membangkitkanku dalam keadaan Iman dan Islam. Yang berdiri dibarisan
Rasulullah. Dan kuharap engkau pun begitu.
Saudariku,
jangan pernah kita ragukan nikmat yang Allah beri. Senatiasa bersyukur, dan
selalu berusaha menjadi seorang Muslimah yang baik. Menjadi perhiasan-perhiasan
terbaik. Semoga Allah meridhoinya. Saudariku, aku mencintaimu karena Allah.
1 comments:
Semoga selalu bisa menginspirasi mbak :D
BalasHapusTerima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎