Pesan 11.014 Kilometer

By Claudia - 8/17/2018 03:44:00 AM



Your hot chocholate , Miss.” Suara laki-laki yang sedikit mengagetkanku ditengah-tengah keasyikanku  membaca novel, novel baru yang kudapatkan dan beberapa hari ini menemaniku. Dia menggunakan bahasa Inggris, berarti dia mengenaliku. Ya, memang aku  sering datang kesini, jadi beberapa karyawan disini sudah mengenalku. Mereka terkadang menggunakan bahasa Inggris sederhana kepadaku, karena mereka tahu jika aku bukanlah orang lokal. Berawal dari kekurang lancaranku dalam berbahasa Jerman yang membuatku pada awalnya selalu menggunakan bahasa Inggris, ya, sama saja, tak semua dari mereka paham dengan apa yang aku katakan. Tapi Alhamdulillah seiring berjalannya waktu aku bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan bahasa disini. Aku berpikir, kalau tak segera ku lancarkan bahasaku, pasti aku akan sangat susah menerima semua mata kuliah dan juga berkomunikasi dengan orang lokal, tak mungkin aku hanya membisu saja hidup di negara orang.
Oh, danke Herr Peter[1].” Kataku kepada seorang pelayan yang kebetulan juga pemilik coffee shop, yang mengantarkan pesananku, tak lupa dengan senyum yang ku sunggingkan ke arahnya. Pelayan itu pergi dengan senyum terbaiknya setelah dia meletakkan coklat panas yang kupesan tepat dihadapanku. Aroma coklat panas yang begitu khas membuatku tak tahan untuk segera menikmatinya. Tak bosan aku dengan coklat panas disini. Apalagi di cuaca yang seperti sekarang. Suasana yang benar-benar cocok untuk menikmati secangkir coklat panas. Tempatnya nyaman, minuman dan makanannya pun enak dan juga tak terlalu mahal. Sesuai kocek mahasiswa perantau antar benua.
Sudah beberapa hari salju turun memutihkan semua yang ada di bumi. Hal yang membuatku begitu senang, pada awalnya. Berbeda dengan sekarang. Dua tahun yang lalu aku merasa bahagia bertemu dengan salju pertamaku. Masih sangat jelas terekam dipikiranku tentang perilaku konyol yang kulakukan saat pertama kali aku melihat tumpukan putih itu menyelimuti seisi bumi, maklumlah, seorang mahasiswa Indonesia yang benar-benar tak pernah melihat apalagi merasakan salju. Namun itu sekitar dua tahun yang lalu. Tahun ini terasa begitu berbeda. Aku baru menyadari, bahwa dengan keadaan seperti ini jalanan tak seramai sebelumnya. Orang-orang lebih memilih berada di kamar-kamar mereka atau di apartemen-apartemen mereka yang hangat. Jika ada mereka yang berseliweran dijalananpun, dalam keadaan yang tak menyenangkan jika dipandang. Kedua tangan di saku, berjalan dengan cepat dan sedikit merunduk dan tanpa senyum di raut wajah mereka. Ya, siapa yang mau berlama-lama didinginnya keadaan luar. Seperti yang kulihat hari ini dari balik jendela kaca.
“Kalau coklatnya didiamkan saja akan dingin dan tak akan membuat badanmu merasa hangat. Dan buku yang ada dihadapanmu, dia tak akan membuatmu mendapatkan apa-apa karena tak kau baca. cuma dianggurkan begitu saja bagaimana ada ilmu yang terekam di dalam otak.” Suara yang sudah tak asing lagi di telingaku benar-benar mengagetkanku.
“Kalau coklatnya sudah dingin tinggal pesan lagi coklat panas yang baru. Dan masalah buku bisa nanti dibaca di lain tempat. Hah, kamu ini selalu. Apa tidak bisa tidak mengagetkan orang dan mengucapkan salam terlebih dahulu?” Jawabku dengan mengimbangi intonasi perempuan yang sekarang berada tepat di hadapanku.
“Assalamu’alaykum sholihah.” Katanya sambil menyunggingkan senyumnya yang begitu manis. Tak heran banyak yang menyukainya. Dia memang orang yang ramah, apalagi saat sudah senyum, semua orang akan merasa seperti tersihir. Kemudian dia duduk dihadapanku.
“Wa’alaykumussalam. Dibiasakan salam dulu, jangan tanya apa-apa sebelum salam. Kamu nggak pesan apapun?” Tanyaku kepadanya.
            “Iya ustadzahhhhh. Lain kali insyaAllah salamnya tak akan kelupaan. Enggak, ini saja sudah cukup. Hahaha. Lagian kan kita juga nggak akan lama, dingiiiin, nanti kalau terlalu malam pulangnya juga jadi semakin dingin.” Katanya yang dengan santainya menyeruput coklat panas milikku yang sudah mulai mendingin. Satu sama lain dari kami sudah tidak risih dengan hal ini, karena memang kami sudah kenal cukup lama, dan saling mengetahui luar dalam.
            Perempuan manis ini, dia adalah sahabat terbaikku yang sudah kukenal dari jaman SD. Kami sekelas sampai kelas tiga SMP, dan di SMA kami juga dipertemukan lagi di satu sekolah yang sama, hanya beda kelas. Dari situlah hubungan persahabatan kami menjadi lebih dekat. Bahkan kedua orangtua kami pun juga sudah kenal dengan baik. Sekarang pun dia adalah keluargaku disini, di tempat yang beribu kilometer jauhnya dari kampung halaman. Dia juga temanku se-apartemen. Kami memilih model kamar Doppelzimmer[2]. Kami memang tinggal berdua, tetapi ada beberapa teman dari Indonesia yang juga berada di apartemen ini, hanya beda lantai.
            Herr Peter, ich möchte mich verabschieden. Danke[3].” Tak lupa selalu kutemui dulu Herr Peter untuk sekedar berpamitan dengannya. Dia yang punya tempat ini dan yang selalu langsung melayani pesananku.
            Bitte. Schönen Tag[4].” Kalimat itu yang selalu dia ucapkan, dan tak lupa dengan senyum ramahnya. Tak heran coffee shop ini ramai pengunjung, Pemilik dan semua pelayan disini sangatlah ramah kepada semuanya. Senyuman selalu terlontar dan tak pernah berkurang sedikitpun.
            Dir auch[5].” Aku pergi dengan senyuman kearahnya dan melambaikan tangan kepadanya. Aku menyusul sahabatku yang sudah terlebih dahulu keluar.
            Salju memutihkan sepanjang jalan yang kulewati. Aku menikmatinya, walau suhu dingin sudah tak bisa terkondisikan lagi. Kami berdua berjalan sedikit lebih cepat, kami ingin segera sampai di apartemen. Tidak terlalu jauh memang dari coffee shop yang kami kunjungi tadi, jadi kami memilih untuk berjalan kaki. Tak ada senyum, tak ada kebahagiaan. Dingin. Sunyi. Setiap orang yang berpapasan denganku semuanya menekuk muka mereka, menyembunyikannya dibalik syal yang digunakannya. Badan meringkung dan berjalan cepat. Sama sekali tak ada keramahan yang terindera olehku.
            Ku lepas mantelku yang sedikit membuatku hangat di dinginnya suhu diluar, dan juga sepatu yang menemaniku hari ini. Apartemen adalah salah tempat ternyaman saat musim dingin tiba. Setelah selesai melepas mantel dan sepatu, aku langsung menuju ke kamar untuk ganti baju. Kurebahkan diriku diatas kasur sejenak, hanya untuk melemaskan otot-otot badan. Aku tak mengerti mengapa hari ini begitu berbeda. Entah karena dinginnya hari ini yang membuat hari tak berwarna atau lainnya, aku juga tak mengerti. Hanya saja, aku benar-benar tak enak hati hari ini.
            Rasa haus mulai muncul, aku keluar kamar untuk mengambil segelas air putih. Di luar tak kulihat Riri, mungkin dia juga sedang istirahat, pikirku. Kulihat pintu kamarnya yang tertutup dan akupun kembali ke kamar. Pintu kamar biasa tak kututup. Ini memang kebiasaan kami. Terkadang kami menutup pintu kamar hanya saat jika kami sedang tidur. Meja belajar di seberang tempat tidur menjadi pilihanku. Ku buka laptop yang ada di atas meja, sengaja kutaruh disitu, agar lebih terlihat rapi. Ada beberapa email yang masuk. Sebelum aku mulai membuka email-email itu, ku arahkan kursor tepat di kumpulan playlist lagu kesukaanku. Suara Ali Sastra mengalunkan lembut lirik lagu Hujan. Satu lagu yang beberapa lama ini amat kusukai. Ada satu email yang membuatku sedikit tertegun. Sebuah email dari seorang teman yang sama-sama dari Indonesia yang sedang berkuliah disini. Hanya saja, dia tiga tahun diatasku. Mbak Wulan, beliau adalah salah seorang yang begitu baik kepadaku dan Riri, beliau juga sudah kami anggap seperti kakak kami sendiri, ya maklumlah, beliau lebih lama tinggal di Jerman dan pastinya lebih berpengalaman.
            Ku biarkan hujan mengawal rinduku, padamu yang indah disanaaaaa. Sudahlah, dia sudah akan menikah, yakinlah Allah telah menyiapkan yang lebih baik dari dia.” Suaranya yang mengagetkanku. Dia mengikuti lagu yang sedang mengalun.
            “Berarti dia bukan jodohmu, sudah dua bulan kamu mendengar kabar itu, dan dia juga menikah dua bulan lagi. Sudah mau jadi punyanya orang. Kalau kamu semakin memikirkannya, rasanya akan semakin sakit. Sudah, tak usah terlalu dipikirkan.”
            “Apa sih, memangnya kalau aku memutar lagu ini tandanya aku sedang memikirkannya?. Iya, aku tahu. Aku juga sudah tidak terlalu memikirkannya, hanya saja terkadang tiba-tiba ingat, jadi tak apa kan? Hahaha.” Candaku kepadanya yang memang begitu iseng selalu berkomentar sesuka hatinya.
“Ya, aku bersyukurlah, bisa mengenalnya. Satu tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin memang cara kami yang salah. Tak seharusnya menjalin hubungan yang tidak disukai Allah, ya walaupun kami tak berstatus pacaran, tapi sama saja lah, sejenis. Mungkin karena itu juga ya. Saat aku merasa telah menemukan yang kurasa tepat, tapi diekspresikan dengan cara yang salah, ternyata akhirnya tak bersatu.”
“Aku juga pernah, Cuma gak separah kamu yang ditinggal nikah, hanya sama-sama pergi untuk saling menjaga. Mungkin kalau kuteruskan, apa aku juga akan ditinggal nikah ya?” Katanya dengan sok manisnya dan dengan nada sedikit mengejek.
“Ihhh kamu kok gitu. Ya memang bukan jodohnya. Dan ternyata dia berjodoh dengan yang lain. Mohon diganti redaksi ‘ditinggal nikah’nya yaaa.”
            “Iya-iya maaf. Bercanda saja akuu. Jangan sedih, jangan baper lagi yaa. Hahaha. Sudah, bentar lagi juga pasti ada yang datang. Siapa tahu ada pangeran berkuda putih datang menghampirimu dan membawakan serta keluarganya. Hahaha.” Kata Riri sambil memelukku. Kebiasaan yang selalu dilakukannya jika aku nampak sebal dengan perilakunya, dan itu berhasil meluluhkan hatiku kembali.
            “Entah ucapanmu ini kebetulan atau bagaimana, tapi mbak Wulan baru saja mengirim email kepadaku yang isinya membuatku kaget. Mbak Wulan mengirimkan sebuah foto, di foto itu jelas sekali berada di ruang tamu rumahku. Aku ber….”
            Belum selesai aku menjelaskan kepadanya, nada dering HP ku berbunyi. Seharian aku memang tak membuka HP ku, entah berapa banyak pesan dan notifikasi yang masuk dan memenuhinya. Nama yang muncul di layar membuatku kembali kaget. Sejenak berdiam, akupun mengangkatnya.
            “Assalamu’alaykum. Ada yang ingin saya bicarakan. Apakah kamu bisa bertemu saya besok siang, sekitar pukul 12.00 nanti tempatnya saya kabari lagi?”
            “Ya. Ich kann das machen[6], InsyaAllah.”
            “Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok. Assalamu’alaykum.” Aku menutup teleponnya setelah kupastikan aku telah menjawab salamnya dan tidak ada lagi yang ingin dikatakan. Dari suaranya terlihat sekali kalau ada hal penting yang ingin dibicarakan, ditambah dengan begitu singkatnya telepon yang ditujukannya padaku hari ini. Tanpa basa-basi. Benar-benar begitu membuatku penasaran.
***
            Aku telah siap. Suhu diluar yang masih begitu dingin tak menghalangi langkahku untuk bertemu dengannya, orang yang menelponku kemarin. Rasa penasaranku lebih besar, sehingga membuatku mengalahkan rasa malasku untuk menemui hawa dingin diluar apartemen. Sebuah kedai kopi yang tak jauh dari apartemenku menjadi tempatnya, katanya sengaja, agar aku tak terlalu jauh. Sepuluh menit aku berjalan dan aku memasuki kedai kopi itu. Terlihat orang yang menelponku kemarin telah duduk disalah satu meja di sudut ruangan, akupun langsung menemuinya.
            “Assalamu’alaykum. Silakan duduk. Aku sudah memesankanmu secangkir cappuccino, semoga bisa menghangatkanmu.” Aku menjawab salamnya, dan langsung duduk dihadapannya. Senyumnya memang begitu memesona, semua orang akan tersihir jika mendapat senyuman darinya.
            “Langsung saja ya, maaf jika terkesan terburu-buru. Aku ada acara satu jam lagi. Jadi, mengapa aku mengajakmu bertemu, karena hal ini tidak bisa kusampaikan jika melalui pesan ataupun telepon. Bagiku ini adalah amanah yang besar, jadi lebih baik jika kusampaikan langsung kepadamu.” Aku hanya mengangguk dan menjawab singkat-singkat saja sembari tersenyum kearahnya. Yang kupikirkan sekarang adalah aku ingin segera mengetahui apa yang ingin disampaikannya, penasaranku sudah mencapai level tinggi.
            “Ini terkait foto yang kukirimkan kemarin. Kamu pasti merasa tak asing dengan latar di foto itu. Ya, itu dirumahmu. Dua hari yang lalu, adikku secara langsung datang kerumahmu untuk memintamu kepada ayahmu. Kamu kenal Bagus?” Aku kaget mendengar apa yang dikatakan mbak Wulan. Aku hanya menggeleng, karena aku memang tidak tahu siapa Bagus itu.
            “Bagus itu adik sepupuku. Dia juga kakak tingkat dua tahun diatasmu semasa di SMA. Bagus bilang dia juga seorganisasi denganmu. Apa kamu tidak mengenalnya?”
            “Jika dua tahun diatasku, mungkin aku hanya sebatas tahu namanya. Kalau boleh tau siapa nama lengkapnya?” Aku menggali dipikiranku perlihal nama Bagus, tapi tak juga terlintas bayangan wajahnya.
            “Dia sudah mulai mengamatimu sejak jaman SMA, dan dia juga mulai menyukaimu. Hal yang membuatnya suka kepadamu adalah semua prestasimu, keaktifanmu, dan keistiqomahanmu, termasuk juga caramu bergaul bersama teman-temanmu, dan yang terpenting adalah ketaatanmu pada Allah. Dia melihat kesholihahan padamu. Dia menyimpan rasa itu hingga sekarang. Kamu ingat buku-buku yang sering kuberikan kepadamu, termasuk novel yang satu bulan lalu? Itu semua dari Bagus, dia sengaja mengirimkannya untukmu. Selama ini Bagus memang tak mau menghubungimu, karena benar-benar dia ingin menjagamu dan ingin menjaga dirinya sendiri. Tapi dia tahu bagaimana kamu disini, dari mbak. Maafkan mbak ya. Mbak juga kaget awalnya, mengetahui orang yang mbak anggap sebagai adik mbak sendiri adalah orang yang selama ini disukai oleh sepupu mbak. Allah yang telah merencanakan semuanya. Dia akan menghubungimu saat dia siap. Dan sekaranglah waktunya. Dia sudah yakin dengan pilihannya, dan dia juga sudah datang keorangtuamu.” Penjelasan yang panjang, sesaat setelah mbak Wulan menunjukkan foto orang yang dimaksud.
            Aku cukup kaget dengan apa yang dijelaskan mbak Wulan. Sama sekali tak pernah terlintas dipikiranku tentang semua ini. Bahkan ini sudah sangat jauh dari apa yang seharusnya kuketahui. Memikirkannya? Bahkan aku saja lupa dengan orang itu. benar-benar tak pernah ada interaksi yang intens. Kok sampai intens, sekedar menanyakan kabar saja tidak pernah. Aku pun sama sekali tidak mengetahui bagaimana kehidupannya. Yang aku ketahui dia menjabat sebagai ketua umum di organisasi yang kuikuti saat aku baru masuk di tahun pertama. Baru beberapa bulan masuk, dia sudah digantikan dengan pengurus periode selanjutnya. Jadi benar-benar aku tak mengenal baik orang itu.
            “Ow, kami memanggilnya mas  Yusuf mbak, tapi aku hanya beberapa kali saja berbincang dengannya, itupun masalah organisasi kami, mas Yusuf mantan ketua umum di organisasi itu.”  
            “Dia akan menghubungimu, dan ijinkan mbak tetap jadi perantara kalian. Semua keputusan ada di kamu. Kalau mbak boleh katakan, InsyaAllah Bagus adalah orang yang baik.”
            Aku benar-benar tak menyangka. Apakah dia? Apakah ini yang telah dipilihkan Allah dan telah disiapkan Allah untukku?. Aku terdiam sejenak, mencerna dan menerima semua apa yang kudengar siang ini.

             






[1] Terimakasih Pak Peter
[2] Dua kamar
[3] Pak Peter, saya permisi dulu. Terimakasih
[4] Sama-sama. Semoga harimu menyenangkan
[5] Untuk anda juga
[6] Ya, saya bisa

  • Share:

You Might Also Like

1 comments:

Terima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎