“Your hot chocholate , Miss.” Suara
laki-laki yang sedikit mengagetkanku ditengah-tengah keasyikanku membaca novel, novel baru yang
kudapatkan dan beberapa hari ini menemaniku. Dia menggunakan bahasa Inggris,
berarti dia mengenaliku. Ya, memang aku sering
datang kesini, jadi beberapa karyawan disini sudah mengenalku. Mereka terkadang
menggunakan bahasa Inggris sederhana kepadaku, karena mereka tahu jika aku
bukanlah orang lokal. Berawal dari kekurang lancaranku dalam berbahasa Jerman
yang membuatku pada awalnya selalu menggunakan bahasa Inggris, ya, sama saja, tak
semua dari mereka paham dengan apa yang aku katakan. Tapi Alhamdulillah
seiring berjalannya waktu aku bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan bahasa
disini. Aku berpikir, kalau tak segera ku lancarkan bahasaku, pasti aku akan
sangat susah menerima semua mata kuliah dan juga berkomunikasi dengan orang lokal,
tak mungkin aku hanya membisu saja hidup di negara orang.
“Oh, danke Herr Peter[1].”
Kataku kepada seorang pelayan yang kebetulan juga pemilik coffee shop, yang
mengantarkan pesananku, tak lupa dengan senyum yang ku sunggingkan ke arahnya.
Pelayan itu pergi dengan senyum terbaiknya setelah dia meletakkan coklat panas
yang kupesan tepat dihadapanku. Aroma coklat panas yang begitu khas membuatku
tak tahan untuk segera menikmatinya. Tak bosan aku dengan coklat panas disini.
Apalagi di cuaca yang seperti sekarang. Suasana yang benar-benar cocok untuk
menikmati secangkir coklat panas. Tempatnya nyaman, minuman dan makanannya pun
enak dan juga tak terlalu mahal. Sesuai kocek mahasiswa perantau antar
benua.
Sudah beberapa hari salju turun memutihkan semua
yang ada di bumi. Hal yang membuatku begitu senang, pada awalnya. Berbeda
dengan sekarang. Dua tahun yang lalu aku merasa bahagia bertemu dengan salju
pertamaku. Masih sangat jelas terekam dipikiranku tentang perilaku konyol yang
kulakukan saat pertama kali aku melihat tumpukan putih itu menyelimuti seisi
bumi, maklumlah, seorang mahasiswa Indonesia yang benar-benar tak pernah
melihat apalagi merasakan salju. Namun itu sekitar dua tahun yang lalu. Tahun
ini terasa begitu berbeda. Aku baru menyadari, bahwa dengan keadaan seperti ini
jalanan tak seramai sebelumnya. Orang-orang lebih memilih berada di kamar-kamar
mereka atau di apartemen-apartemen mereka yang hangat. Jika ada mereka yang berseliweran
dijalananpun, dalam keadaan yang tak menyenangkan jika dipandang. Kedua tangan
di saku, berjalan dengan cepat dan sedikit merunduk dan tanpa senyum di raut
wajah mereka. Ya, siapa yang mau berlama-lama didinginnya keadaan luar. Seperti
yang kulihat hari ini dari balik jendela kaca.
“Kalau coklatnya didiamkan saja akan dingin dan tak
akan membuat badanmu merasa hangat. Dan buku yang ada dihadapanmu, dia tak akan
membuatmu mendapatkan apa-apa karena tak kau baca. cuma dianggurkan begitu saja
bagaimana ada ilmu yang terekam di dalam otak.” Suara yang sudah tak asing lagi
di telingaku benar-benar mengagetkanku.
“Kalau coklatnya sudah dingin tinggal pesan lagi
coklat panas yang baru. Dan masalah buku bisa nanti dibaca di lain tempat. Hah,
kamu ini selalu. Apa tidak bisa tidak mengagetkan orang dan mengucapkan salam
terlebih dahulu?” Jawabku dengan mengimbangi intonasi perempuan yang sekarang berada tepat di hadapanku.
“Assalamu’alaykum sholihah.” Katanya sambil
menyunggingkan senyumnya yang begitu manis. Tak heran banyak yang menyukainya.
Dia memang orang yang ramah, apalagi saat sudah senyum, semua orang akan merasa
seperti tersihir. Kemudian dia duduk dihadapanku.
“Wa’alaykumussalam. Dibiasakan salam dulu, jangan
tanya apa-apa sebelum salam. Kamu nggak pesan apapun?” Tanyaku kepadanya.
“Iya ustadzahhhhh. Lain kali
insyaAllah salamnya tak akan kelupaan. Enggak, ini saja sudah cukup. Hahaha.
Lagian kan kita juga nggak akan lama, dingiiiin, nanti kalau terlalu malam
pulangnya juga jadi semakin dingin.” Katanya yang dengan santainya menyeruput
coklat panas milikku yang sudah mulai mendingin. Satu sama lain dari kami sudah
tidak risih dengan hal ini, karena memang kami sudah kenal cukup lama, dan
saling mengetahui luar dalam.
Perempuan manis ini, dia adalah sahabat terbaikku
yang sudah kukenal dari jaman SD. Kami sekelas sampai kelas tiga SMP, dan di
SMA kami juga dipertemukan lagi di satu sekolah yang sama, hanya beda kelas.
Dari situlah hubungan persahabatan kami menjadi lebih dekat. Bahkan kedua
orangtua kami pun juga sudah kenal dengan baik. Sekarang pun dia adalah
keluargaku disini, di tempat yang beribu kilometer jauhnya dari kampung
halaman. Dia juga temanku se-apartemen. Kami memilih model kamar Doppelzimmer[2].
Kami memang tinggal berdua, tetapi ada beberapa teman dari Indonesia yang juga
berada di apartemen ini, hanya beda lantai.
“Herr Peter, ich möchte mich
verabschieden. Danke[3].”
Tak lupa selalu kutemui dulu Herr Peter untuk sekedar berpamitan dengannya. Dia
yang punya tempat ini dan yang selalu langsung melayani pesananku.
“Bitte. Schönen Tag[4].”
Kalimat itu yang selalu dia ucapkan, dan tak lupa dengan senyum ramahnya. Tak
heran coffee shop ini ramai pengunjung, Pemilik dan semua pelayan disini
sangatlah ramah kepada semuanya. Senyuman selalu terlontar dan tak pernah
berkurang sedikitpun.
“Dir auch[5].”
Aku pergi dengan senyuman kearahnya dan melambaikan tangan kepadanya. Aku
menyusul sahabatku yang sudah terlebih dahulu keluar.
Salju memutihkan sepanjang jalan
yang kulewati. Aku menikmatinya, walau suhu dingin sudah tak bisa terkondisikan
lagi. Kami berdua berjalan sedikit lebih cepat, kami ingin segera sampai di
apartemen. Tidak terlalu jauh memang dari coffee shop yang kami kunjungi
tadi, jadi kami memilih untuk berjalan kaki. Tak ada senyum, tak ada
kebahagiaan. Dingin. Sunyi. Setiap orang yang berpapasan denganku semuanya
menekuk muka mereka, menyembunyikannya dibalik syal yang digunakannya. Badan
meringkung dan berjalan cepat. Sama sekali tak ada keramahan yang terindera
olehku.
Ku lepas mantelku yang sedikit
membuatku hangat di dinginnya suhu diluar, dan juga sepatu yang menemaniku hari
ini. Apartemen adalah salah tempat ternyaman saat musim dingin tiba. Setelah
selesai melepas mantel dan sepatu, aku langsung menuju ke kamar untuk ganti
baju. Kurebahkan diriku diatas kasur sejenak, hanya untuk melemaskan otot-otot
badan. Aku tak mengerti mengapa hari ini begitu berbeda. Entah karena dinginnya
hari ini yang membuat hari tak berwarna atau lainnya, aku juga tak mengerti.
Hanya saja, aku benar-benar tak enak hati hari ini.
Rasa haus mulai muncul, aku keluar
kamar untuk mengambil segelas air putih. Di luar tak kulihat Riri, mungkin dia
juga sedang istirahat, pikirku. Kulihat pintu kamarnya yang tertutup dan akupun
kembali ke kamar. Pintu kamar biasa tak kututup. Ini memang kebiasaan kami.
Terkadang kami menutup pintu kamar hanya saat jika kami sedang tidur. Meja
belajar di seberang tempat tidur menjadi pilihanku. Ku buka laptop yang ada di
atas meja, sengaja kutaruh disitu, agar lebih terlihat rapi. Ada beberapa email
yang masuk. Sebelum aku mulai membuka email-email itu, ku arahkan kursor tepat
di kumpulan playlist lagu kesukaanku. Suara Ali Sastra mengalunkan
lembut lirik lagu Hujan. Satu lagu yang beberapa lama ini amat kusukai. Ada
satu email yang membuatku sedikit tertegun. Sebuah email dari seorang teman
yang sama-sama dari Indonesia yang sedang berkuliah disini. Hanya saja, dia
tiga tahun diatasku. Mbak Wulan, beliau adalah salah seorang yang begitu baik
kepadaku dan Riri, beliau juga sudah kami anggap seperti kakak kami sendiri, ya
maklumlah, beliau lebih lama tinggal di Jerman dan pastinya lebih
berpengalaman.
“Ku biarkan hujan mengawal
rinduku, padamu yang indah disanaaaaa. Sudahlah, dia sudah akan menikah,
yakinlah Allah telah menyiapkan yang lebih baik dari dia.” Suaranya yang
mengagetkanku. Dia mengikuti lagu yang sedang mengalun.
“Berarti dia bukan jodohmu, sudah dua
bulan kamu mendengar kabar itu, dan dia juga menikah dua bulan lagi. Sudah mau
jadi punyanya orang. Kalau kamu semakin memikirkannya, rasanya akan semakin
sakit. Sudah, tak usah terlalu dipikirkan.”
“Apa sih, memangnya kalau aku
memutar lagu ini tandanya aku sedang memikirkannya?. Iya, aku tahu. Aku juga
sudah tidak terlalu memikirkannya, hanya saja terkadang tiba-tiba ingat, jadi
tak apa kan? Hahaha.” Candaku kepadanya yang memang begitu iseng selalu
berkomentar sesuka hatinya.
“Ya, aku bersyukurlah, bisa mengenalnya. Satu tahun
bukan waktu yang singkat. Mungkin memang cara kami yang salah. Tak seharusnya
menjalin hubungan yang tidak disukai Allah, ya walaupun kami tak berstatus pacaran,
tapi sama saja lah, sejenis. Mungkin karena itu juga ya. Saat aku merasa
telah menemukan yang kurasa tepat, tapi diekspresikan dengan cara yang salah,
ternyata akhirnya tak bersatu.”
“Aku juga pernah, Cuma gak separah kamu yang
ditinggal nikah, hanya sama-sama pergi untuk saling menjaga. Mungkin kalau
kuteruskan, apa aku juga akan ditinggal nikah ya?” Katanya dengan sok
manisnya dan dengan nada sedikit mengejek.
“Ihhh kamu kok gitu. Ya memang bukan jodohnya. Dan
ternyata dia berjodoh dengan yang lain. Mohon diganti redaksi ‘ditinggal
nikah’nya yaaa.”
“Iya-iya maaf. Bercanda saja akuu.
Jangan sedih, jangan baper lagi yaa. Hahaha. Sudah, bentar lagi juga pasti ada
yang datang. Siapa tahu ada pangeran berkuda putih datang menghampirimu dan
membawakan serta keluarganya. Hahaha.” Kata Riri sambil memelukku. Kebiasaan
yang selalu dilakukannya jika aku nampak sebal dengan perilakunya, dan itu
berhasil meluluhkan hatiku kembali.
“Entah ucapanmu ini kebetulan atau
bagaimana, tapi mbak Wulan baru saja mengirim email kepadaku yang isinya
membuatku kaget. Mbak Wulan mengirimkan sebuah foto, di foto itu jelas
sekali berada di ruang tamu rumahku. Aku ber….”
Belum selesai aku menjelaskan kepadanya, nada dering HP ku berbunyi. Seharian aku memang tak membuka HP ku, entah
berapa banyak pesan dan notifikasi yang masuk dan memenuhinya. Nama yang muncul
di layar membuatku kembali kaget. Sejenak berdiam, akupun mengangkatnya.
“Assalamu’alaykum. Ada yang
ingin saya bicarakan. Apakah kamu bisa bertemu saya besok siang, sekitar pukul
12.00 nanti tempatnya saya kabari lagi?”
“Ya. Ich kann das machen[6],
InsyaAllah.”
“Baiklah kalau begitu. Sampai
bertemu besok. Assalamu’alaykum.” Aku menutup teleponnya setelah kupastikan aku
telah menjawab salamnya dan tidak ada lagi yang ingin dikatakan. Dari suaranya
terlihat sekali kalau ada hal penting yang ingin dibicarakan, ditambah dengan
begitu singkatnya telepon yang ditujukannya padaku hari ini. Tanpa basa-basi.
Benar-benar begitu membuatku penasaran.
***
Aku telah siap. Suhu diluar yang
masih begitu dingin tak menghalangi langkahku untuk bertemu dengannya, orang
yang menelponku kemarin. Rasa penasaranku lebih besar, sehingga membuatku
mengalahkan rasa malasku untuk menemui hawa dingin diluar apartemen. Sebuah
kedai kopi yang tak jauh dari apartemenku menjadi tempatnya, katanya sengaja,
agar aku tak terlalu jauh. Sepuluh menit aku berjalan dan aku memasuki kedai
kopi itu. Terlihat orang yang menelponku kemarin telah duduk disalah satu meja
di sudut ruangan, akupun langsung menemuinya.
“Assalamu’alaykum. Silakan
duduk. Aku sudah memesankanmu secangkir cappuccino, semoga bisa
menghangatkanmu.” Aku menjawab salamnya, dan langsung duduk dihadapannya.
Senyumnya memang begitu memesona, semua orang akan tersihir jika mendapat
senyuman darinya.
“Langsung saja ya, maaf jika
terkesan terburu-buru. Aku ada acara satu jam lagi. Jadi, mengapa aku
mengajakmu bertemu, karena hal ini tidak bisa kusampaikan jika melalui pesan
ataupun telepon. Bagiku ini adalah amanah yang besar, jadi lebih baik jika
kusampaikan langsung kepadamu.” Aku hanya mengangguk dan menjawab
singkat-singkat saja sembari tersenyum kearahnya. Yang kupikirkan sekarang
adalah aku ingin segera mengetahui apa yang ingin disampaikannya, penasaranku
sudah mencapai level tinggi.
“Ini terkait foto yang kukirimkan
kemarin. Kamu pasti merasa tak asing dengan latar di foto itu. Ya, itu
dirumahmu. Dua hari yang lalu, adikku secara langsung datang kerumahmu
untuk memintamu kepada ayahmu. Kamu kenal Bagus?” Aku kaget mendengar apa yang
dikatakan mbak Wulan. Aku hanya menggeleng, karena aku memang tidak tahu siapa
Bagus itu.
“Bagus itu adik sepupuku. Dia juga
kakak tingkat dua tahun diatasmu semasa di SMA. Bagus bilang dia juga
seorganisasi denganmu. Apa kamu tidak mengenalnya?”
“Jika dua tahun diatasku, mungkin
aku hanya sebatas tahu namanya. Kalau boleh tau siapa nama lengkapnya?” Aku
menggali dipikiranku perlihal nama Bagus, tapi tak juga terlintas bayangan
wajahnya.
“Dia sudah
mulai mengamatimu sejak jaman SMA, dan dia juga mulai menyukaimu. Hal yang
membuatnya suka kepadamu adalah semua prestasimu, keaktifanmu, dan
keistiqomahanmu, termasuk juga caramu bergaul bersama teman-temanmu, dan yang
terpenting adalah ketaatanmu pada Allah. Dia melihat kesholihahan padamu. Dia
menyimpan rasa itu hingga sekarang. Kamu ingat buku-buku yang sering kuberikan
kepadamu, termasuk novel yang satu bulan lalu? Itu semua dari Bagus, dia
sengaja mengirimkannya untukmu. Selama ini Bagus memang tak mau menghubungimu,
karena benar-benar dia ingin menjagamu dan ingin menjaga dirinya sendiri. Tapi
dia tahu bagaimana kamu disini, dari mbak. Maafkan mbak ya. Mbak juga
kaget awalnya, mengetahui orang yang mbak anggap sebagai adik mbak sendiri
adalah orang yang selama ini disukai oleh sepupu mbak. Allah yang telah
merencanakan semuanya. Dia akan menghubungimu saat dia siap. Dan sekaranglah
waktunya. Dia sudah yakin dengan pilihannya, dan dia juga sudah datang
keorangtuamu.” Penjelasan yang panjang, sesaat setelah mbak Wulan menunjukkan foto orang yang dimaksud.
Aku cukup kaget dengan apa yang
dijelaskan mbak Wulan. Sama sekali tak pernah terlintas dipikiranku tentang
semua ini. Bahkan ini sudah sangat jauh dari apa yang seharusnya kuketahui.
Memikirkannya? Bahkan aku saja lupa dengan orang itu. benar-benar tak pernah
ada interaksi yang intens. Kok sampai intens, sekedar menanyakan kabar saja
tidak pernah. Aku pun sama sekali tidak mengetahui bagaimana kehidupannya. Yang
aku ketahui dia menjabat sebagai ketua umum di organisasi yang kuikuti saat aku
baru masuk di tahun pertama. Baru beberapa bulan masuk, dia sudah digantikan
dengan pengurus periode selanjutnya. Jadi benar-benar aku tak mengenal baik
orang itu.
“Ow, kami memanggilnya mas Yusuf mbak, tapi aku hanya beberapa kali saja
berbincang dengannya, itupun masalah organisasi kami, mas Yusuf mantan ketua
umum di organisasi itu.”
“Dia akan menghubungimu, dan ijinkan
mbak tetap jadi perantara kalian. Semua keputusan ada di kamu. Kalau mbak
boleh katakan, InsyaAllah Bagus adalah orang yang baik.”
Aku benar-benar tak menyangka.
Apakah dia? Apakah ini yang telah dipilihkan Allah dan telah disiapkan Allah
untukku?. Aku terdiam sejenak, mencerna dan menerima semua apa yang kudengar
siang ini.
[2] Dua kamar
[3] Pak Peter, saya
permisi dulu. Terimakasih
[4] Sama-sama. Semoga
harimu menyenangkan
[6] Ya, saya bisa
1 comments:
Semangat sis
BalasHapusTerima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎