Masih di Artjog MMXXII, Dalam Rangkaian Acara Merayakan Lebaran Seni
By Claudia - 8/10/2022 06:19:00 AM
Hi, selamat datang lagi di kelanjutan cerita waktu mampir ke Artjog tanggal 30 Juli lalu. Sebenernya mau ceritanya sekalian aja gitu yaa, cuma karena "emm, kayaknya kok panjang amat ya", akhirnya dijadikan dua aja. Hehehe. Balik lagi ke pembahasan mengenai Artjog, banyak sekali pelajaran, nilai, dan makna yang bisa diambil dari semua karya yang dipamerkan. Bukan cuma mata yang terpuaskan tapi juga disini juga bisa kasih experience lebih.
Oke, kita masuk ke beberapa karya lainnya yang juga tidak kalah keren dan apa yang ada di balik karyanya itu luar biasa gitu. Apa yang mereka pikirkan, rasakan, tentang kehidupan, keresahan, apa yang ingin mereka sampaikan bisa dibungkus apik dalam sebuah karya seni yang luar biasa. Dan ya, tentang berkesadaran, semoga semakin hari kita bisa semakin sadar ya. Sadar dengan segala hal baik yang ada di dalam diri sendiri ataupun posisi kita di lingkungan sekitar. Sadar bahwa tidak hanya hal besar saja yang bisa jadi fokus, namun ada juga hal kecil yang bisa memabantu untuk hidup lebih tenang dan bisa lebih menghargai diri.
Karya ini adalah salah satu dari sekian banyak yang kukagumi. Karya ini besar, ada pintu juga dan orang dewasa bisa masuk kedalam rumahnya, ukurannya 300x300x600 cm. Terbuat dengan sangat detail dari jaring-jaring (fishing net). Disini menceritakan kondisi pada saat pandemi dan lockdown, dimana banyak orang diminta untuk tidak keluar rumah selama kurang lebih 2 tahun, dibandingkan Bu Farida yang tidak keluar rumah selama 51 tahun. Siapa ibu Farida?? Disini kutuliskan penjelasan dari karyanya.Rumah telah memberikan rasa aman saat pandemi. Rumah menjadi ukuran tentang kenyamanan waktu isolasi yang terasa begitu panjang, melelahkan, lalu kita kalah melawan kejenuhan.
Pengalaman isolasi ketat selama setahun lebih saat pandemi, menjadikan Iwan Yusuf mendapatkan perspektif baru terhadap jalan hidup kakak sepupunya, Farida Yusuf, yang telah menghabiskan seumur hidupnya selama 51 tahun berada di dalam rumah.
Sebagai makhluk sosial, merdeka dan tentu memiliki pilihan bebas, termasuk bebas memilih keluar rumah sebanyak kurang lebih 7 kali seumur hidupnya. Dia menghabiskan waktunya hanya menunggu dan menunggu sanak saudara yang pulang, lalu mampu merelakan kepergian. Farida pernah sekali terlihat menangis ketika ibunya meninggal.
Mungkin baginya rumah induk itu adalah tempat merawat memori, menghangatkan energi persaudaraan, sumber ketenangan dan kebebasan. Mungkin di dalam rumah induk itu Farida berhasil membangun rumah yang sebenarnya yang sangatlah lapang, "Hati yang ikhlas".
Sailor Moonah #2 karya Alfiah Rahdini | Dokpri |
Responku saat melihat karya ini adalah "keren, bisa detail dan mirip banget sama manusia". Lalu muncul rasa penasaran, kenapa ini Sailor Moon tapi kok beda. Dan terjawablah dari penjelasan karyanya. Ternyata namanya Sailor Moonah. Awalnya karya ini adalah patung fiber seukuran manusia yang dipajang berpindah-pindah di beberapa titik di area kota Bandung. Alfiah Rahdini memajangnya di ruang publik karena ia ingin mengetahui respon publik atas karya tersebut.
Jadi sejak maraknya radikalisme dan fundamentalisme agama di Indonesia, banyak karya atau aktivitas seni rupa yang disensor, diboikot, bahkan ada yang dimusnahkan. Pelakunya berasal dari kelompok kecil ekstrimis yang menganggap bahwa beberapa karya seni seperti patung bertentangan dengan ideologi dan pandangan mereka.
Karya seni ini digarap oleh Alfiah untuk menyoroti sisi lain dari budaya kontemporer di Indonesia, yang menunjukkan bagaimana berbagai budaya yang berbeda dapat bertemu dan bercampur dengan damai. Fenomena seperti muslimah yang memperagakan cosplay karakter anime Jepang tetapi masih mengenakan jilbab adalah sebuah contoh bahwa keyakinan agama tidak kaku ketika dihadapkan dengan budaya baru. Pada kenyataannya sebagian besar dari masyarakat Indonesia selama ini berhasil menemukan cara tersendiri untuk merawat identitas mereka. Sailor Moonah juga merupakan cerminan diri budaya yang dianut oleh mayoritas masyarakat dunia yang berhasil merajut berbagai ragam elemen budaya menjadi satu budaya baru.
The Rangda karya Ari Bayuaji | Dokpri |
Dalam budaya Hindu Bali, sosok Rangda ini adalah simbol dari sifat-sifat buruk. Topeng dan kostum Rangda biasa ditarikan dalam upacara ritual yang penting. Ada beberapa jenis model, warna, dan material yang digunakan untuk mengkontruksi Rangda, tergantung darimana tempat Rangda dibuat. Karya Ari Bayuaji ini adalah bagian dari Project Weaving the Ocean, dimana dia menggunakan ribuan helai benang-benang plastik/nilon dari tali-tali plastik yang ditemukan di hutan bakau. Dengan tangan, ribuan benang tersebut diikatkan pada helaian benang katun. Figur Rangda ini adalah simbol monumental dari plastik yang ada di dalam hidup kita sehari-hari.
Tantular, dimana Tamarra menghadirkan karya ini untuk memaknai ulang semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, yang nampaknya sulit sekali untuk dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Tantular ini diartikan sebagai empunya semboyan Indonesia tersebut yang ditulis dalam salah satu karyanya Kakawin Sutasoma.
Selain itu, karya ini bisa diartikan sebagai entitas yang tidak tertular/terpengaruhi oleh entitas lainnya, melihat pada banyaknya fakta atas kekhawatiran masyarakat Indonesia akan "tertular" oleh preferensi atau pilihan-pilihan hidup seseorang dalam lingkup kehidupan yang sifatnya heterogen, hingga menimbulkan terjadinya diskriminasi, persekusi, dan eksekusi pada bagian masyarakat lainnya yang dianggap bertolak belakang dengan ajaran agama samawi.
Dalam karya ini Tamarra mempresentasikannya dalam format pertunjukan wayang, gunungan yang dibuat dengan berbagai jenis kain dari berbagai jenis pakaian yang digunting, dipintal dan kemudian dikaitkan satu sama lain tanpa terputus.
Tepat di atas gunungan tersebut, Tamarra mengahdirkan patung anak kecil sebagai harapan pada generasi mudah yang mampu bersikap "lentur/luwes" atas keberagaman yang selalu menjadi bagian yang akan terus terkait dan tidak bisa dilepaskan dalam hidup, sejalan dengan filosofi hidup yang terkandung dalam gunungan.
Residual Memory, Mining the Walls (Menambang Tembok) karya Budi Agung Kuswara | Dokpri |
Disini juga akan kutuliskan langsung penjelasan dari karyanya ya. Jadi karya diatas adalah seri karya yang mengeksplorasi kesadaran akan ruang dan ingatan. Melihat potensi ruang dari pembatas. Secara fungsi, tembok digunakan untuk menciptakan ruang-ruang baru, sebagai fasilitas interaksi dan aktivitas tertentu. Di Bali, kesadaran akan ruang sangatlah berlapis, tidak hanya hal yang membentuk ruang secara fisik, juga pengaruh secara gelombang/getaran partikel atom neutron elektron. Konsep Tri Pramana adalah tiga ukuran untuk menentukan salah dan benar. Tiga ukuran adalah Desa, Kala, dan Patra. Desa artinya tempat, Kala berarti waktu, dan Patra artinya keadaan. "Apa yang benar pada suatu waktu, belum tentu benar pula pada waktu yang lain. Demikian pula apa yang benar pada suatu tempat atau keadaan, dapat berubah menjadi salah pada tempat atau waktu yang lain."
Dengan dasar pemikiran diatas, seniman kelahiran 1982 ini melakukan eksplorasi data-data arsip kolonial dengan memanfaatkan "dinding tembok" sebagai sumber daya imajiner. Data-data direalisasikan kembali menggunakan cahaya artifisial untuk memunculkan kembali imaji-imaji masa lalu. Menambang memori ingatan dengan memunculkan arsip-arsip gambar benda-benda masa kolonial, beberapa lukisan karya Raden Saleh tentang potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada akhirnya semua imaji yang muncul di dinding akan bermuara di lukisan.
Catatan Pinggir Jurang karya Alex Abbad & Angki Purbandono | Dokpri & artjog.id |
Untuk satu ini adalah sebuah karya praktis yang memberikan pengalaman berbeda pada pengunjung. Kenapa?? Disini pengunjung bisa melihat, membaca, menyentuh, dan berekspresi yang lainnya. Jadi Alex Abbad dan Angki Purbandono membuat karya membentuk jurang. Saat masuk pengunjung diajak untuk menelusuri lorong yang terbuat dari bantal dan kasur kapuk. Pangunjung akan dibawa menyusuri ramps spiral hingga ke atas kira-kira setinggi 10 meter yang berujung pada perosotan bidan miring yang tajam. Disepanjang jalan menuju atas terdapat scanography dan juga beberapa tulisan yang juga bisa dibaca. Selain itu di instalasi ini menghadirkan soundscape audio yang begitu menenangkan.
Jika sudah sampai diatas, perosotan siap menguji dan melemparmu pada sebuah "dasar jurang". Disinilah adrenalin pengunjung akan diuji, seberapa besar nyali yang dimiliki sekaligus memaknai catatan reflektif dan merasakan sensasi pinggir jurang itu sendiri. Karya ini adalah yang banyak diminati pengunjung Artjog, karena sensasinya dan keseruannya. Jangan salah, perosotannya curam dan tinggi dan untuk turunpun harus mengikuti instruksi dari tim Artjog-nya.
Berikut ini aku mau tuliskan juga catatan Alex Abbad tentang Catatan Pinggir Jurang:
Ini bukan narasi, ini dongeng.
Narasi berkerak di otak...
Dongeng bersemi di hati.
Saya belum bisa bernarasi...
Karena endapan ini terus bersemi
Terserah...
Tapi tatanan itu bukan tatanan jika paling tidak satu perlu ditata baru.
Karena semua sekarang baru.. Baru linglung.
Dan ini adalah era baru...
Era Tatanan Linglung bagi yang baru.
Dan untuk yang baru ini dituju.
Sadar tidak?!
Kita sadar dalam ketidak sadaran.
Dan tidak sadar dalam kesadaran,
Kadang kita cari...
Kadang kita hanyut...
Kadang kita hindar...
Apa semua itu tentang sadar,
Kadang kita perlu terbangun..
Untuk tertidur lagi...
Sering kita perlu terjatuh...
Untuk naik lagi...
Memang kita perlu berjalan...
Untuk berdiam lagi.
Jelas kita perlu hening...
Untuk bicara lagi.
Disini, dengan ini, lewat ini...
Aku ingin kesadaran yang bisa dibawa pulang.
(Alex Abbad, Catatan Pinggir Jurang)
No More Babies karya Jay Subyakto & Excuse Me karya Bintang Tanatimur | Dokpri |
Ini bonus dari ceritaku ikutan perayaan lebaran seninya hehe. Yang disebelah kiri, karya ini dibuat oleh Jay Subyakto untuk memperluas kesadaran atas ringkihnya bumi yang dipijak 7 miliar manusia, lemahnya penegakan hukum hak asasi manusia dan hilangnya tokoh-tokoh tauladan bangsa. Ia menuangkannya dalam visualisasi maupun jelmaan 3 dimensi, sebuah kkursi Obgyn kebidanan untuk melahirkan dari tahun 1910, sarat dengan cerita kelahiran dan kematian.
Sementara untuk sebelah kanan adalah sebuah karya kolase dari salah satu seniman partisipan anak-anak di Artjog MMXXII ini. Banyaknya sampah yang ditemui membuatnya berpikir mengenai kemungkinan untuk menguranginya. Karya ini mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri dan oranglain, "No trash @home, can you do it?".
Lebih panjang dari part 1 ya sepertinya hehe. Sejujurnya ini masih ada beberapa lagi, namun karena ada yang sempat terdokumentasi tapi lupa penjelasannya, dan banyak juga karya yang tidak sempat terdokumentasikan dengan apik, jadi cerita berkunjung ke Artjog-nya cukup sampai disini. Semoga bisa datang lagi di event Artjog selanjutnya hehe 😉.
0 comments:
Terima kasih sekali sudah sempatkan membaca sampai akhir. Aku harap ada hal baik yang kamu dapatkan. Kamu boleh cantumkan blog-mu, agar aku juga bisa mampir kesana 🤎